DALAM masa jelang pemilihan presiden, kerjasa investasi dengan luar negeri mendapatkan dukungan dari para kandidat. Kerjasama investasi ini tidak semuanya baik bagi lingkungan hidup, salah satunya yang menjadi sorotan adalah pembangkit listrik batu bara dengan teknologi yang diklaim ramah lingkungan, diantaranya teknologi ultra super critical.
Pihak China dan Jepang mendukung dan melakukan investasi batubara di Indonesia dan menegaskan mereka menerapkan clean coal technology, diantaranya dengan penggunaan boiler ultra super critical (USC).
Pemerintah lewat PLN dalam RUPTL 2018-2027 juga menyatakan clean coal technology untuk mengurangai emisi. Untuk sistem tenaga listrik Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara kelas 1.000 MW dengan teknologi ultra super critical sebagai bagian dari clean coal technology untuk memperoleh efisiensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah.
Di antaranya adalah Jawa 7 (2×919 MW) yang dimiliki secara joint venture oleh Shenhua Guohua dan PT.PJB Investasi.
Untuk sistem Sumatera juga mulai direncanakan pengembangan PLTU memanfaatkan teknologi batubara bersih (clean coal technology) dengan kelas kapasitas 300-600 MW dengan teknologi Ultra Super Critical.
Perhitungan yang dilakukan oleh Perkumpulan AEER, secara total terdapat kapasitas sebesar 5,882 MW pembangkit listrik asal investasi Jepang dan China menggunakan teknologi ultra super critical di Indonesia.
Dengan faktor intensitas karbondioksida 740–800 g CO2/kWh untuk teknologi USC, pembangkit ini akan hasilkan 26-28 juta ton CO2 per tahun. Jumlah ini setara dengan 148 hingga 195 kali lipat emisi gas CO2 Republik Vanuatu pada tahun 2016, negara kepulauan salah satu yang paling terancam oleh kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global di Samudra Pasific.
Sejalan dengan perhitungan ini, Laporan Data Inventory Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM 2016 juga menyatakan “berdasarkan data historis penurunan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, penggunaan CCT tidak banyak berkontribusi dalam penurunan emisi, yaitu hanya sebesar 15% dari total penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, atau sebesar 4% dari keseluruhan penurunan emisi GRK sektor energi.
Terdapat aksi mitigasi yang lebih banyak berkontribusi dalam penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, yaitu penggunaan cogeneration, dengan kontribusi sebesar 85% dari total penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, atau sebesar 20% dari keseluruhan penurunan emisi GRK sektor energi.”
Disamping emisi gas rumah kaca, pembangunan listrik di daerah pantai selalu mengakibatkan kerusakan dan gangguan lingkungan hidup nelayan. Seperti nelayan di pantai Terate, Kab. Serang, Banten, yang mengalami penyusutan ruang tangkap ikan akibat pantai tempat mereka menangkap ikan digunakan untuk wilayah pembangunan PLTU Jawa 7.
Teknologi USC masih mengeluarkan gas rumah kaca cukup tinggi, membuat Indonesia kesulitan mencapai target pengurangan emisi rumah kaca dari sektor energi.
Sebagai negara yang teknologinya telah maju, China dan Jepang seharusnya mengonkretkan kepemimpinannya dalam mengatasi perubahan iklim dan mewujudkan keadilan iklim secara global dengan menghentikan pengembangan PLTU kendati dengan teknologi USC, dan melakukan pengembangan energi terbarukan di investasi luar negerinya, termasuk di Indonesia.
Oleh Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).