KedaiPena.Com – Investasi tidak kunjung menunjukkan angka yang optimis untuk mencapai target yang diharapkan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) investasi pada kuartal pertama 2019 tumbuh 5,3% menjadi Rp195,1 triliun.
“Capaian ini menjadi realisasi investasi terendah Indonesia dalam kurun 2014-2019. Salah satunya Indonesia tak mendapatkan sumbangsih manfaat yang signifikan atas migrasinya perusahaan asing dari negara China imbas perang dagang antara China dan Amerika Serikat,” ujar Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi DPR-RI, Heri Gunawan, Sabtu, (2/11/2019).
Heri menjelaskan, sebanyak lebih dari 50 perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana untuk mempertimbangkan pemindahan manufaktur keluar dari Cina.
“Pertanyaan besarnya adalah kenapa Indonesia tidak menjadi pilihan yang menarik untuk investasi di banding dengan negara asia yang lain, sebut negara semisal Vietnam dan Taiwan,” papar Heri.
Heri menilai, salah satu penyebabnya masalah tersebut antara lain kalah kepastian hukum dan pertanahan di Indoneisa yang dianggap masih kurang baik.
Belum lagi, kata Heri, banyak regulasi terkait perijinan yang tumpah tindih dan tentu saja bermuara pada lamanya ijin investasi serta biaya tinggi yang sulit diprediksi.
“Disharmoni peraturan perundang-undangan terkait perizinan di berbagai sektor, memunculkan gagasan perlunya omnibus law untuk menyelesaikan hambatan perizinan berusaha,” tutur Heri.
Omnibus law sendiri, kata Heri, adalah salah satu solusi yang hendak ditawarkan terkait arus investasi untuk menyederhanakan perizinan dan regulasi.
Apalagi, lanjut Heri, Indonesia tak mendapatkan sumbangsih dari perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
“Tercatat bahwa 33 perusahaan Cina merelokasi operasi mereka ke Asia Tenggara. Dari jumlah ini, 23 pindah ke Vietnam dan sisanya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja,” papar Heri.
Heri menjelaskan, investasi asing yang diterima Vietnam dari Cina dan Hong Kong melonjak sebanyak 73 persen. Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina juga mendapat manfaatnya. Satu-satunya yang kurang dilirik adalah Indonesia.
“Wajar saja karena nilai incremental capital out ratio (ICOR) Indonesia masih kurang baik dari negara-negara tetangga. ICOR adalah besaran yang menunjukkan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu unit output,” imbuh Heri.
Heri menegaskan, nilai ICOR yang tinggi menandakan investasi yang masuk secara makro masih kurang efisien.
Nilai ICOR Indonesia sempat melonjak menjadi 6,64.
“Nilai ini lebih besar dari Malaysia yang sebesar 4,6, Filipina 3,7, Thailand 4,5, dan Vietnam 5,2,” tandas Heri.
Laporan: Muhammad Hafidh