“INVESTASI untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong.
Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa enggak kebanyakan?
Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi.”
Pidato Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2019
Sejak pidato presiden Jokowi disampaikan, polemik tentang penghapusan jabatan eselon 3 dan 4 terus berkembang. Beberapa pejabat daerah juga ikut bersuara, terutama berkaitan dengan kekhawatirannya penurunan hak kesejahteraan, penurunan pangkat, dan lain-lain.
Akan tetapi mungkin kita juga perlu membaca kembali konteks dari persoalan reformasi birokrasi yang diungkap dalam pidato Jokowi di atas. Menurut saya, yang perlu digarisbawahi dari isi pidato tersebut adalah “persoalan investasi” yang berhubungan dengan kebutuhan “penciptaan lapangan kerja baru”.
Persoalan investasi ini, setidaknya telah diungkapkan beberapakali oleh Jokowi. Silahkan mencoba googling dengan kata kunci “Jokowi investasi Indonesia kalah”, maka kita membaca pernyataan kesal, bingung, marah dari presiden Jokowi akibat banyak investasi yang lebih memilih berlabuh di negara-negara tetangga daripada ke Indonesia.
Menurut ekonom senior Rizal Ramli, kenapa investasi dari luar negeri lebih banyak berlabuh di negara-negara tetangga kita, karena memang negara tetangga kita bisa tingkatkan pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia yang hanya 5 persen.
“Mending mereka ke India (7,1%), Vietnam (7,1%) bahkan Filipina (6,2%), bahkan Bangladesh (7,7%),” ungkap anggota panel ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2007-2012, Dr. Rizal Ramli
Indonesia saat ini memang menghadapi tantangan dengan meningkatnya jumlah usia produktif (bonus demografi) yang belum terjawab oleh penyediaan lapangan kerja yang layak.
Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pengangguran lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi masih yang tertinggi jumlahnya. Sehingga membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sehingga menyerap jumlah usia produktif yang membutuhkan lapangan kerja baru.
Oleh karenanya, jika yang dimaksud pak Jokowi dalam pidatonya pada hari pelantikannya sebagai presiden untuk periode keduanya itu adalah persoalan investasi yang datang ke Indonesia kalah dari negara lain, maka jawabannya adalah bukan semata persoalan reformasi birokrasi yang hanya menyangkut persoalan mental birokrat yang suka berbelit-belit.
Tapi lebih dari itu adalah ‘leadership‘ dan mental dari pejabat publik dalam kabinet yang dipilih oleh Pak Jokowi.
Pertanyaannya, apakah pejabat publik di Kabinet Indonesia Maju, khususnya di bidang ekonomi, saat ini benar-benar sudah meninggalkan cara-cara “business as usual” yang monoton, kurang inovatif, ketergantungan terhadap utang, tidak berani ambil terobosan, berpotensi KKN, dan lain sebagainya?
Mungkin Pak Jokowi perlu kembali mengecek ulang maksud dari gerakan revolusi mental yang pernah dideklarasikannya.
Oleh Agus Priyanto, Peneliti LSP (Lingkar Studi Perjuangan)