Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Investasi sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Tidak heran, investasi dikejar, diberi insentif, dikasih karpet merah. Khususnya, oleh pemerintahan Jokowi. Investasi dikejar sampai ke Amerika Serikat, Timur Tengah, Singapore, dan tentu saja China: Come and invest to my country.
Tetapi, investasi bagaikan pedang bermata dua. Di lain sisi, investasi dapat menjadi bumerang bagi ekonomi, membebani ekonomi, dan membuat struktur ekonomi menjadi semakin melemah, dan pada akhirnya bisa memicu krisis ekonomi. Ini terjadi kalau pemerintah terlalu agresif menarik investasi asing (PMA), sehingga mengakibatkan akumulasi modal asing di dalam perekonomian nasional menjadi sangat besar.
Karena, investasi tidak gratis, ada “biayanya”. Setiap investasi akan memperoleh penghasilan dalam bentuk dividen (dari laba perusahaan) atau bunga obligasi (dari surat utang, termasuk surat utang negara). Secara teori, pembayaran dividen dan bunga obligasi kepada investor asing tersebut akan berlangsung selamanya, selama perusahaan asing tersebut masih berdiri.
Sebagai contoh, kalau investor asing mendirikan perusahaan di Indonesia dengan investasi Rp10 miliar, dan perusahaan tersebut memperoleh laba Rp2 miliar per tahun, maka investor asing akan menerima laba (dividen) sebesar Rp2 miliar per tahun, selamanya, sampai perusahaan tersebut ditutup, dilikuidasi, atau dijual kepada investor lokal.
Artinya, cadangan devisa Indonesia senilai Rp2 miliar per tahun akan tersedot ke luar negeri untuk pembayaran dividen atau bunga obligasi kepada investor asing tersebut, selamanya, selama perusahaan berdiri.
Semua transaksi devisa, yaitu transaksi penerimaan dan pembayaran antara pihak Indonesia dan luar negeri, tercatat di dalam Neraca Pembayaran atau Balance of Payment. Sedangkan penerimaan dan pembayaran devisa sehubungan dengan investasi (dividen dan bunga obligasi), akan tercatat di Neraca Pendapatan Primer.
Sejak 2004 hingga 2022, pembayaran dividen dan bunga obligasi (surat utang) ke luar negeri semakin membesar dan memprihatinkan, karena dapat memicu krisis valuta .
Pembayaran dividen dan bunga dari Indonesia kepada investor asing di luar negeri pada 2004 hanya 12,85 miliar dolar AS. Jumlah pembayaran dividen dan bunga ini naik tajam menjadi 41,15 miliar dolar AS pada 2019. Lihat Gambar.
Sedangkan penerimaan dividen dan bunga dari luar negeri kepada pengusaha Indonesia pada 2019 hanya 7,37 miliar dolar AS. Sehingga Neraca Pendapatan Primer pada 2019 mencatat defisit 33,77 miliar dolar AS.
Pembayaran dividen dan bunga kepada investor asing pada 2022 naik lagi menjadi 43,33 miliar dolar AS, membuat defisit Neraca Pendapatan Primer naik menjadi 36,02 miliar dolar AS. Neraca Pendapatan Primer untuk tahun 2023 ini diperkirakan masih memburuk dari tahun 2022.
Kondisi ini mencerminkan, investasi asing, termasuk hilirisasi tambang nikel sejak 2020, membuat ekonomi Indonesia semakin memburuk. Pembayaran dividen dan bunga ke luar negeri naik menjadi 43,33 miliar dolar AS pada 2022.
Untuk periode 5 tahun, total pembayaran kepada investor asing selama 2015-2019 mencapai 183,87 miliar dolar AS. Sangat besar.
Defisit Neraca Pendapatan Primer yang semakin membesar menunjukkan ekonomi Indonesia semakin dikuasai investor asing, dan menyedot devisa Indonesia ke luar negeri. Kondisi ini menekan kurs rupiah semakin melemah.
Terutama ketika kinerja Neraca Perdagangan (ekspor minus impor) memburuk, karena harga komoditas turun, kurs rupiah semakin anjlok.
Apalagi kalau investasi asing yang baru tidak masuk, maka kurs rupiah dipastikan akan tambah jeblok, dan bisa memicu krisis valuta. Kurs rupiah saat ini sedang melemah terus, turun menjadi sekitar Rp15.600 per dolar AS.
Defisit Neraca Pendapatan Primer yang semakin membesar menandakan ekonomi Indonesia semakin dalam dicengkeram asing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jokowi, Indonesia sudah terjajah secara ekonomi.
Nampaknya, Jokowi tidak sadar, bahwa pemerintahan Jokowi sendiri yang bertindak sebagai agen dari penjajahan ekonomi tersebut. Dengan cara, pemerintah terus mengejar investasi asing, antara lain menyerahkan hilirisasi pertambangan dan pembangunan infrastruktur, termasuk IKN, kepada investor asing.
Selamat datang, penjajahan ekonomi.
[***]