INTENSITAS bencana ekologis menjadi fakta nyata yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia semakin mengalami degradasi dari hari kehari. Tahun 2015 bencana ekologis masih terhitung tinggi, ditambah lagi dengan kebakaran hutan dan asap akibat dari praktik buruk korporasi telah menjadi bencana yang menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Tahun 2016, harapan rakyat akan berkurangnya intensitas bencana ekologis mestinya menjadi salah satu perhatian utama pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat.
Dalam menanggapi kondisi tersebut, WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia telah banyak mengungkapkan dampak dari kerusakan lingkungan yang berkontribusi besar terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim memperparah faktor-faktor pemicu bencana. WALHI menilai bahwa kerusakan lingkungan Indonesia merupakan dampak langsung dari praktik buruk korporasi dan negara dalam pengelolaan sumber daya alam di berbagai sektor yang sampai saat ini belum mampu terselasaikan.
WALHI mencatat bencana tanah longsor, banjir, banjir bandang terjadi di beberapa wilayah Sumatera, Jawa dan NTB. Dari pengamatan WALHI menemukan bahwa bencana ekologis sepanjang 2016 disebabkan oleh perizinan pembangunan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup, alih fungsi lahan yang massif, kawasan hulu dan hilir yang rusak, pembangunan infrastruktur skala besar, rusaknya daya dukung dan daya tampung lingkungan semakin mengalami degradasi. Ironisnya, faktor penyebab bencana ini merupakan praktik buruk yang dilakukan dengan perampasan tanah, kriminalisasi warga dan aktivis tanpa penegakan hukum yang lebih serius oleh negara. Faktor lain yang memperburuk adalah cuaca ektrim akibat perubahan iklim dimana curah hujan deras dan cukup lama
Tercatat selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejdian bencana atau naik 35% jika dibandingkan dengan jumlah bencana pada tahun 2015. Cuaca buruk masih mengancam Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT dan dari jumlah tersebut sebanyak 92% bencana tahun ini adalah bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung. Selama 2016 terjadi 766 bencana banjir, 612 longsor, 669 puting brliung, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran hutan dan lahan, 13 gempa, tujuh gunung meletus dan 23 gelombang pasang dan abrasi.
Peningkatan ini juga terlihat jelas dari catatan WALHI Jawa Barat selama tahun 2016, jumlah kejadian bencana lingkungan hidup di Jawa Barat meningkat dari tahun 2015. Jika dalam tahun 2015 tercatat jumlah kejadian bencana lingkungan hidup mencapai 525 kejadian maka tahun 2016 mencapai 656 kejadian bencana berupa longsor/gerakan tanah/amblasan, banjir dan angin puting beliung. Jumlah kejadian bencana terbanyak di Sukabumi, Garut, Bandung Barat, Sumendang dan Kabupaten Bogor. Belajar dari Garut yang sebenarnya merupakan salah satu penyangga penting bagi kelestarian lignkungan di Jawa Barat dimana hampir 40% luas kabupaten masih berupa hutan. Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir ekspansi sektor pariwista, tambang dan pertanian telah meneyebabkan berkurangnya luas hutan (deforestasi).
Jumlah korban pun meningkat, jika pada tahun 2015 korban jiwa mencapai 101 orang, maka tahun 2016 korban jiwa mencapai 123 orang. Selama tahun 2016, rata-rata orang meninggal 10 orang/bulan. Sekitar 8.500 rumah ruusak. Diperkirakan kerugian secara finansial akibat bencana lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Barat mencapai lebih dari Rp. 1 Trilyun.
Bencana banjir juga terjadi di Aceh sedikitnya 44 desa di kabupaten Aceh Barat dan 26 desa kabupaten Aceh Jaya, provinsi Aceh, diterjang banjir akibat meluapnya sungai Woyla. Ketinggian air 50 sentimeter hingga 1,5 meter. Ini banjir kedua dalam rentang waktu 20 hari dalam satu bulan saja, 71 desa di Aceh Barat dilanda banjir dengan nilai kerugian sekitar Rp. 128 milliar. 3.558 jiwa dari 1.152 keluarga terdampak banir dan sekitar 500 jiwa mengungsi di empat lokasi. Banjir juga melanda 26 desa di Aceh Jaya akibat air kiriman dari Geumpang, Pidie. Sungai Teunom yang berhulu di Pidie meluap. Â Banjir di Aceh akibat keusakan alam parah di kawasan hulu sungai akibat penebangan hutan secara ilegal menyebabkan resapan air berkurang.
Di kalimantan Tengah, sungai Kahayan juga meluap higga menyebabkan sejumlah tempat di Kabupaten Pulau Pisau dan kota Palangkaraya terendam banjir. Dari bencana banjir Bima, ada lima kecamatan meliputi kecamatan Rasanae Timur, Mpunda, Raba, Rasanae Barat, dan Asakota ada 8.491 jiwa pengungsi yang tersebar 30 titik pengungsian. Kerugian ditaksir mencapai Rp 984,40 miliar.
Dari catatan WALHI, sekitar 70 persen aliran sungai di Indonesia dalam kondisi kritis. Berdasarkan curah hujan yang diakibatkan perubahan iklim, kota seperti Lampung, Banten, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, kalimantan Barat bagian Selatan, Kalimantan Tengah bagian Selatan, Klaimantan selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat dan Palembang di bulan Agustus yang lalu, rawan terkena banjir dan longsor dipengaruhi oleh berbagai hal seperti yang disebutkan di atas.
Indonesia juga rawan bencana gunung meletus, hingga saat ini terdapat 16 gunung aktif dari 127 gunung api yang statusnya diatas normal. Diantara 16 gunung api aktif, selama tahun 2016 gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara terus meletus. Sejak Juni 2015 hingga sekarang Gunung Sinabung masih status Awas atau level 4. Gunung Gamalama di Ternate pun tahun ini menunjukkan kegagahannya.
Belum lagi bencana ekologis yang diakibatkan oleh industri tambang, 2016 WALHI mencatat kasus kematian anak-anak di lubang tambang dan pencemaran sumber air yang ada disekitar lokasi pertambangan seperti yang ada di Kalimantan dan penggusuran yang dilakukan oleh ekspansi perusahaan sawit di Palembang. Tercatat meninggal dunia korban kebakaran ataupun terpapar asap setidaknya ada 24 orang sejak Juni 2015. Sebanyak 12 orang terdampak kebakaran langsung di Kalimantan dan Sumatera.
kerugian nasional akibat bencana setiap tahunnya di Indonesia mencapai Rp.40 triliun. Jumlah tersebut telah mencakup kerugian akibat perubahan iklim. Untuk tahun 2016, faktor iklim yang mengakibatkan bencana hampir 97,1%.
Oleh: Melva Harahap, Staf database, pendidikan dan kaderisasi WALHI nasional