KedaiPena.Com – Para elit PDIP diminta untuk menahan diri dan tidak sombong, apalagi menantang pasca insiden pembakaran bendera partai yang terjadi saat unjuk rasa menolak RUU HIP di Gedung DPR dan MPR beberapa waktu lalu. Hal itu disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Syafril Sjofyan.
“Saya menyayangkan elit dan kader PDIP keluar garis seperti Dewi Tanjung yang menyebutkan banteng-banteng akan menyeret kalian. Lalu seperti pernyataan Budiman Sujatmiko kalau kader PDIP ada jutaan, bahaya kalau bergerak,” ungkap dia, dalam keterangan, Sabtu, (27/6/2020).
“Belum lagi elit yang lainnya membanggakan sebagai partai besar pemenang pemilu. Hanya untuk membuat heboh tentang pembakaran bendera, yang pada kenyataan pembakaran bendera sudah sering terjadi bahkan oleh kader PDIP di beberapa daerah sendiri yang kecewa karena kebijakan partai,” sambung dia.
Syafril Sjofyan juga menilai, pernyataan dari elit dan kader PDIP hanya memanaskan kondisi dan situasi. Pasalnya, umat Islam, kalangan nasionalis, akademisi dan purnawirawan TNI sedang solid menolak RUU HIP yang isinya bertentangan dengan Pancasila 18 Agustus 1945 yang disepakati oleh founding father, dan pembukaan UUD 45.
Jika hanya sebagai pemenang Pemilu 2014 dan 2019, kata Syafril Sjofyan,
PDIP hanya menghasilkan suara pemilih dan pendukung berkisar sekitar 18%-19% dalam setiap pemilu legislatif.
Bahkan perolehan suara PDIP pernah merosot pada Pileg 2004 dan 2009. Hal ini karena di Indonesia tidak ada pemenang mutlak melebih 40%-50% sejak 5 kali pileg era reformasi.
“Artinya jika berkaca pada Pileg 2019, 19% dari 140 juta pemilih, pendukung riil PDIP hanya sekitar 27,5juta,” ungkap dia.
Syafril Sjofyan membandingkan, perolehan suara tersebut dengan jumlah penduduk Indonesia 260 juta, atau penduduk Jawa Barat yang berjumlah 45 juta.
“Kemenangan pileg PDIP tidak merata di seluruh provinsi, kabupaten dan kota. Beberapa di antaranya tidak dapat kursi sama sekali, artinya pemenang pemilu di Indonesia tidak lebih dari 20% dari jumlah pemilih, tidak perlu dibanggakan atau disombongkan,” ungkap Syafril Sjofyan.
Terlebih lagi, lanjut dia, menurut beberapa hasil survei pendukung PDIP dari pileg ke pileg berasal dari kalangan marhaenisme (Soekarnoisme).
“Dan kelompok yang merasa kurang nyaman pada kalangan mayoritas, seperti WNI keturunan. Kelompok kiri kelompok aliran Syiah, Ahmadiyah serta aliran kepercayaan. Mengenai kelompok aliran kiri diakui sendiri oleh kadernya Ribka Tjiptaning,” papar dia.
Syafril Sjofyan pun melihat konstruksi pendukung PDIP sebenarnya rapuh, hanya sebagian yang militan atau revolusioner. Istilah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hanya karena kharisma nama Soekarno dan marhaen.
“Sebagian lagi jika terjadi sesuatu mereka akan kabur, artinya jika elit PDIP tetap saja angkuh, bisa terdepak dari kalangan mayoritas rakyat Indonesia, tidak heran jika tagar bubarkan PDIP pernah trending topic berkali-kali,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi