Artikel ini ditulis oleh Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Multimedia, Telematika, AI & OCB Independen.
Kasus Arogansi Pengendara Motor besar Patwal -berinitial DK- yang sedang bertugas membuka jalan untuk mobil RI-36 pada hari Rabu (8/1/2025) sekitar pukul 16.30 di Jl. Jendral Sudirman berbuntut panjang. Masyarakat (utamanya Netizen Indonesia yang dikenal cerdas) mempertanyakan apa urgensinya jika benar sesuai dengan pembelaan yang dilakukan oleh Raffi Ahmad (RA), Utusan khusus Presiden bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni itu, katanya mobil yang dikawal dalam keadaan “kosong” alias tanpa dia berada didalamnya(?).
Sanggahan sekaligus kritikan tajam selain dari netizen di berbagai platform social media, datang juga dari Peter Frans Gontha (PFG), mantan Duta Besar RI untuk Polandia sekaligus pengusaha senior dibidang media (antara lain RCTI, SCTV, IndoVision, FirstMedia, Qchannel, TrijayaFM dsb). Dalam akun pribadinya di Instagram dan X / Twitter, postingan PFG ini tak pelak ikut menjadi trending dan banyak dimuat diberbagai media karena kalimatnya sangat menohok.
Tulisan PFG lengkapnya sebagai berikutnya “Rafi janganlah bohong, enggak baik, lagian Anda masih muda dan mempunyai masa depan yang baik, demikian juga di dalam politik, tapi kalau sudah bohong nanti akan ke bawa terus, orang gak akan lupa. Mobil kosong tidak ada pengawalan semua itu tau dan semua tau acara kamu kok dari pusat mau ke selatan. Ya sudahlah pelajaran ya”. PFG memang hanya menulis 1 huruf f untuk kata “Raffi”, tetapi jelas ini maksudnya tetap kepada RA, artis suami Nigita Slavina (NS) tersebut.
Kalau kemudian disandingkan dengan jawaban resmi RA kepada awak media pada hari Sabtu (11/1/2025) kemarin, dimana menurutnya mobil mewah berukuran bongsor jenis Lexus LX-600 warna hitam seharga Rp3,5 miliar tersebut tidak berpenumpang -alias “kosong”, hanya mengambil berkas(?)- saat dikawal sampai harus “meminggirkan” setiap mobil yang akan dilewatinya, termasuk Toyota Alphard “Silver Bird” yang akhirnya menjadi viral karena ulah arogan si Patwal, kedua statemen PFG vs RA ini tidak semakna, bahkan saling kontradiksi.
Kalimat dalam tulisan PFG jelas-jelas tertulis “… janganlah bohong, enggak baik …” dan ditujukan langsung kepada RA. Artinya PFG secara tegas membantah penjelasan RA soal mobil mewahnya dalam kondisi “kosong” ketika harus mendapatkan prioritas dari Patwal di jalan protokol daerah khusus Jakarta tersebut, padahal traffic lalu-lintas saat itu cukup padat, apalagi ada sebuah kendaraan truk warna biru sedang dalam posisi berhenti ditengah untuk perbaikan jalan. Jadi dapatkah disimpulkan bahwa Utusan khusus Presiden bidang GenMud dan Pekerja Seni itu tercyduk berbohong?
Sebagaimana sanksi yang sudah diterima oleh Miftah Maulana Habiburrahman alias (Gus?) Miftah alias Tain, mantan Utusan khusus Presiden lainnya yang sudah mengundurkan diri karena kasus “Penjual es teh”, kesalahan RA ini -jika benar tuduhan PFG tsb- menjadi serius dan tidak patut jika dia tetap memegang seorang utusan khusus dari orang nomor satu di Indonesia, Bapak Prabowo Subianto. Karena kejujuran itu harus diletakkan setara dengan nilai etika dan moral, alias jangan sekedar mencari-cari pembenaran dalam aturan hukum tertulis semata.
Terlebih lagi seharusnya pemerintah juga menertibkan -setidaknya mengatur yang pantas- urutan nomor khusus RI yang selama ini sudah dikenal, misalnya RI-1 sd RI-4 untuk Presiden, Wapres dan pendampingnya, RI-5 sd RI-9 untuk Kepala Lembaga Tunggi Negara, RI-10 sd RI-15 untuk Menteri Koordinator (MenKo), RI-16 sd RI-50 untuk Menteri dan RI-51 sd RI-100 untuk Wakil Menteri (WaMen), baru diatas RI-100 untuk Pejabat lainnya. Sehingga kalau sekarang (hanya) selevel Utusan khusus saja bisa mendapat nomor RI-36, wajar bila kemarin sempat saling bantah antar Menteri.
Mulai dari Menkomdigi Meutya Viada Hafid (MVH) dan Menkop Budi Arie Setiadi (BAS) sempat “terkena getah” ulah Patwal RI-36 tersebut karena nomor tersebut dulu sempat digunakan oleh Menkominfo BAS. Sekali lagi memang aneh, sekelas Utusan khusus seperti RA ini bisa mendapat Nomor RI dibawah 50 dan dipasangkannya pada mobil pribadi mewah bongsor seperti Lexus LX-600, dimana seharusnya Nopol RI hanya diperuntukkan guna mobil dinas yang dibiayai oleh negara. Apakah mobil seharga Rp3,5 miliar tersebut (mungkin) memang dibeli oleh negara juga untuk seorang Utusan khusus seperti RA?
Kembali pada kontradiksi statemen PFG vs RA, sebaiknya kita tunggu saja siapa yang memang berbohong dalam hal tersebut, karena kalau melihat rekam jejaknya PFG rasanya sulit dikatakan beliau yang berbohong, atau minimal lebay dalam menulis di akun SosMednya. Bagaimana dengan RA? Publik tentu tidak lupa juga dengan kasus “Doktor HC abal-abal” yang sempat digunakannya juga beberapa waktu lalu, sehingga kasus tersebut kerap menjadi olok-olok Netizen, selain kata “laundry” (?) yang kerap disematkan kepadanya ketika mengomentari bisnis RA yang disinyalir oleh Netizen karena kedekatan dengan oknum penguasa.
Kesimpulannya, sebagai seseorang yang pernah juga berkesempatan mengendarai mobil dinas berNopol “RI” (saat itu yang digunakan adalah RI-45 di Kabinet Indonesia Bersatu II), penulis juga memberikan saran kepada SesKab Mayor Teddy untuk sebaiknya Pemerintah menertibkan kembali penggunaan plat nomor khusus “RI” tersebut, setidaknya mengurutkan sesuai “hirarki” yang lazim diterima oleh akal sehat alias nurul masyarakat, tidak lagi “meloncat-loncat” ada Utusan khusus bisa mendapatkan Nopol yang sepantasnya untuk Menteri. Ini memang soal sepele tampaknya, tetapi dari hal-hal kecil inilah Indonesia kalau tidak ditertibkan akan menjadi semakin kacau dan amburadul, sebagaimana ada seorang mantan yang masih terus mendapatkan pengawalan (dan berlagak masih berkuasa) sampai sekarang. Terwelu.
Jakarta, 14 Januari 2025
[***]