Ditulis oleh: Analitika Institut Telkom Agung Nugroho M.hum
SIKAP Presiden Joko Widodo yang menginginkan Pilkada 2024 tetap serentak dengan Pemilu nasional. Jokowi memberi sinyal menolak RUU Pemilu yang dibahas DPR karena tidak ingin aturan kepemiluan selalu diubah, dengan mengundang mantan Jubir relawan TKN Jokowi-Ma’aruf .
Terutama soal Pilkada serentak 2024 yang belum dijalankan. Sikap Jokowi ini bertolak belakang dengan alasan menolak Pilkada 2020 ditunda. Jika Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan, maka akan ada ratusan daerah yang dipimpin pejabat sementara.
Desakan penundaan Pilkada 2020 karena pandemi ditepis pemerintah dengan alasan serupa. Ketika itu pemerintah ingin daerah bisa dipimpin pejabat definitif demi melawan pandemi. Pernyataan Presiden Jokowi ini bentuk inkosistensi pemerintah pusat dalam berdemokrasi.
Standar ganda yang diberlakukan demi kepentingan pragmatis Pemerintah pusat yang tidak mempunyai argumentasi kuat menolak normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.
Jika Pilkada tetap serentak di 2024, justru jumlah daerah yang dipimpin pejabat sementara akan lebih banyak daripada Pilkada 2020 ditunda.
Apabila Pilkada dilaksanakan 2024 berbarengan dengan Pilpres dan Pileg tambah berat penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, berkaca dari pemilu 2019, menjalankan pelaksanaan teknis bukan hal yang mudah ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit, karena kelelahan.
MK kenapa inkonsistensi, cermati analisis berikut ini?
Pemerintah pusat memang punya kepentingan agar RUU Pemilu tidak dibahas. Pemerintah dinilai ingin Pilkada tetap digelar serentak di 2024. Sebabnya dipengaruhi kepentingan partai berkuasa PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng itu ingin tetap ada Pilkada di 2024.
Artinya Pemerintah pusat sangat berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, dengan mendorong Pilkada 2024.
Jelas ini adalah bentuk pengembosan terhadap munculnya tokoh-tokoh muda yang mumpuni dan teruji dalam memerintah daerah.
Seperti Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta yang habis masa bakhtinya 2022, Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat dan Ganjar Pramono Gubernur Jawa Tengah 2023.
Karena para pimpinan kepala daerah ini yang banyak mendapatkan sorotan dan panggung politik, disaat pemerintah pusat gagal dan tidak sejalan dengan kebijakan didaerah dalam menangani pandemi.
Menarik pernyataan Presiden Jokowi yang konsisten untuk tidak konsisten, terkait tidak ingin aturan yang belum dijalankan dalam UU terkait kepemiluan diubah. Salah satunya adalah Pilkada serentak 2024.
Sikap ini berbeda dari kebijakan pemerintah terhadap Pilkada 2020. Jokowi tidak ingin Pilkada 2020 ditunda karena pandemi dengan alasan tak ingin daerah dijabat pejabat definitif.
Alasannya, Indonesia masih melawan pandemi Covid-19. Pernyataan Jokowi itu disampaikan lewat rapat antara pemerintah, DPR, dan KPU di hari yang sama. Ketiga lembaga sepakat untuk tetap menjalankan pilkada saat pandemi.
“Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih,” Pernyataan Jubir Presiden Fadjroel Rahman.
Presiden Jokowi dimotori Partai berkuasa PDIP dan Partai Gerindra, yang saat ini sedang mesra memiliki agenda politik dengan tetap mempertahankan UU Pemilu 2017, terkait Pilkada 2022 dan 2023 dilaksanakan serentak di 2024.
Hal ini bisa memicu timbulnya persepsi pada publik selain inkosistensi pemerintah pusat, ada kepentingan koalisi PDIP dan Gerindra di 2024 dalam Pilpres, Pileg dan Pilkada, dalam melanggengkan kekuasaan dengan istilah “The Winner Takes All”.
Ini sangat berbahaya dan mengarah pada Oligarki Politik. Dibalik inkonsistensi pemerintah pusat ada hal yang disembunyi dan itu adalah ambisi kekuasaan