Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Tahun belum juga berganti. Sejak para cendekiawan, civitas akademika, aktivis, ramai-ramai menyodorkan diri sebagai Amicus Curie. Membersamai pengadilan untuk tidak takut berbuat adil. Berani memutus perkara seadil-adilnya.
Gelombang tuntutan anti nepotisme dari kalangan aktivis mahasiswa juga belum lama berselang. Kini hiruk pikuk tuntutan lenyap, seperti debu disapu badai. Terbang entah kemana.
Inskonsistensi gerakan anti nepotisme dan anti korupsi itu diamati rakyat selama hampir 30 tahun reformasi. Rakyat sering ditipu kamuflase. Ditipu apologi.
Janji untuk membersamai memberantas KKN ternyata dibajak. Ditunggangi sebagai jargon memenangkan agenda politik pragmatisnya.
Gibran dihajar habis-habisan. Oleh isu nepotisme. MK memutuskan batas usianya mengizinkan maju sebagai cawapres. Majunya Gibran membuat kakalahan Ganjar dan Anis Baswedan semakin telak. Maka isu anti nepotisme menyeruak.
Ketika pilpres berlalu beberapa bulan saja, gerakan anti nepotisme itu meredup. Juga anti korupsi. Jadi isu anti KKN, Amicus Curie, itu hanyalah ketika menguntung calonnya, Ganjar atau Anis jadi presiden. Ketika tidak ada agenda itu, maka omong kosong saja gerakan anti KKN itu.
Masyarakat sudah paham dengan perilaku penumpang-penumpang gelap reformasi itu. Berbohong. Tidak tulus berjuang untuk perubahan. Melainkan sebagai bidak pemenangan figur tertentu.
Maka ia diajar. Dihukum. Agendanya tidak didukung rakyat. Berkali-kali rakyat merasa ditipu.
ARS ([email protected]), 18 Juni 2024
[***]