EPISODE masa menunggu pengumuman resmi KPU selama lebih dari satu bulan pasca pemungutan suara 17 April memicu ketegangan sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Sebabnya karena masing-masing pihak melakukan klaim kemenangan dipicu sebelumnya oleh hasil quickcount yang diragukan independensinya oleh publik.
Sebab selama ini lembaga survei tersebut menjadi konsultan partai politik yang ikut kontestasi dalam pemilu, bahkan kemungkinan besar juga konsultan pasangan capres-cawapres.
Ketegangan sosial politik di episode masa menunggu ini semakin meluas karena mudahnya penyebaran informasi di era masyarakat digital saat ini melalui media sosial yang tersedia.
Di saat yang sama elit pilitik dari kedua kubu terus bersiteru diksi di area media massa dan siteru diksi kemudian diikuti oleh para pengikut militannya masing-masing di media sosial. Situasi kemudian seperti api dalam sekam.
Belakangan muncul desakan untuk rekonsiliasi dari berbagai ormas besar termasuk disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla. Desakan ini tentu sangat baik ditengah ketegangan dalam sekam yang meninggi untuk diredam.
Problemnya desakan rekonsiliasi datang dari satu pihak ormas maupun tokoh-tokoh yang justru terlibat dalam ketegangan. Logikanya rekonsiliasi tidak mungkin terjadi jika datang dari satu pihak, rekonsiliasi harus datang dari kedua belah pihak.
Sebab secara etimologis rekonsiliasi didefinisikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan. Ini artinya harus muncul dari kedua belah pihak. Jika ini terjadi sangat mungkin rekonsiliasi dilakukan.
Tetapi jika belum berasal dari keduabelah pihak, rekonsiliasi hanya mungkin terjadi jika dimotori oleh pihak ketiga. Problemnya para tokoh yang dulu tidak ikut-ikutan politik praktis, pada pemilu 2019 ini semuanya terjebak politik praktis memberikan dukungan, bahkan ditarik-tarik oleh kontestan untuk memberikan dukungan.
Pada titik ini betapa pentingnya ada tokoh bangsa yang tidak ikut politik praktis dukung mendukung pada kontestasi politik.
Solusinya syarat rekonsiliasi mesti terpenuhi dulu. Setidaknya ada empat syarat rekonsiliasi politik 2019 ini.
Pertama, rekonsiliasi dilakukan atas dasar kesadaran keduabelah pihak untuk mengutamakan kepentingan nasional. Bukan kepentingan sepihak.
Kedua, jika tidak datang dari kedua belah pihak maka hanya bisa dilakukan oleh mediator yaitu tokoh bangsa yang tidak terjebak dukung-mendukung. Problemnya pihak ketiga sudah terjebak politik praktis dukung mendukung pada pilpres 2019 ini.
Ketiga, jika tokoh bangsa tidak ada, maka universitas bisa menjadi alternatif untuk memediasi rekonsiliasi politik. Karena independensinya yang terjaga, universitas yang kredibel mungkin bisa dipercaya untuk mengadakan rekonsiliasi.
Keempat, isi rekonsiliasi selain mengutamakan kepentingan nasional juga harus mewakili kepentingan paling konkret yang menjadi pokok soal dari kedua belah pihak.
Isi rekonsiliasi juga perlu melakukan evaluasi nendasar dari praktik sistem politik yang saat ini dipraktekan yang menjadi penyebab utama dari seluruh hiruk pikuk ketegangan saat ini.
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik UNJ