KedaiPena.Com – Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramlu menceritakan kisah sukses restrukturisasi lembaga negara dan swasta, yang membuat perekonomian kala itu moncer.
Ada beberapa institusi yang menjadi bukti tangan dingin Rizal. Yang pertama adalah Bulog. Pada masa Suharto, Bulog dikenal sebagai lembaga yang sangat korup, dan kemudian diubah oleh tim ekonomi Gus Dur menjadi lembaga yang transparan, profesional, dan akuntabel.
Langkah pertama adalah melakukan mutasi besar-besaran yang mencakup 5 pejabat eselon satu (Deputi) dan 54 pejabat eselon dua (Kepala Biro dan Kepala Dolog). Dari 26 Kepala Dolog, 24 di antaranya dipensiunkan atau dimutasi.
Menurut Rizal, total sekitar 80 karyawan di bawahnya dipensiunkan secara dini. Langkah berikutnya adalah memangkas rekening Bulog dari 117 rekening menjadi hanya 9 rekening.
Sistem pembukuan di Bulog yang tidak jelas standarnya diubah menjadi General Accepted Accounting Principles, sehingga dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.
Ketika selesai dibenahi, Bulog surplus Rp 5 triliun (yang akhirnya malah dibelikan pesawat Sukhoi pada era setelah Gus Dur).
Rizal mengungkapkan Bulog di era Gus Dur juga meningkatkan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani. Hal ini untuk memotong kecurangan para tengkulak yang sebelumnya selalu membeli gabah petani, mengoplosnya dengan beras impor, baru menjualnya ke Bulog. Langkah ini efektif karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog ketimbang beras.
Langkah ini juga menguntungkan para petani, karena selama musim panen ketika harga gabah turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal. Sedangkan ketika masa paceklik gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras.
Pada periode ini juga Bulog dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dengan dikenakan sedikit tarif (tanpa sistem kuota). Akibat dari kebijakan ini, selama masa pemerintahan Gus Dur harga beras menjadi sangat rendah dan stabil.
Insitusi selanjutnya adalah PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Awalnya sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1998, korporasi ini masih merugi Rp 75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp 508 miliar. Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah namanya menjadi PT Dirgantara Indonesia seiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif.
PT DI tidak lagi hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia (seperti: Boeing, Airbus, British Aerospace, dll). Akibat dari kebijakan ini pada tahun 2001, PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 1,4 triliun (nyaris 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1998) dan keuntungan sebesar Rp 11 miliar.
“Sayang sekali, setelah era Gus Dur kondisi PT DI kembali memburuk karena kesalahan strategi pemerintahan Megawati sehingga akibatnya harus memecat 6.600 karyawannya,†kata Rizal.
Lalu ada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tim ekonomi Gus Dur sukses menyelamatkan PLN dari kebangkrutan dengan cara renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian (akibat KKN peninggalan Suharto) dari USD cents 7-9/kWh ke harga normalnya sekitar USD cents 3,5/kWh, sehingga beban utang pemerintah dan PLN turun dari USD 80 miliar ke USD 35 miliar’ Selain itu, revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat 4 kali lipat dari Rp 52 triliun ke Rp 202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus (-) Rp 9,1 triliun bertambah menjadi Rp 119,4 triliun.
Kemudian properti. Sektor ini adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri (seperti: semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, alat kelistrikan, dan sebagainya) dan menyerap sangat banyak tenaga kerja.
Karena itu, demi kembali membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk pasca krisis, pada April 2001 tim ekonomi Gus Dur meluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti.
Kemudahan ini lebih diutamakan kepada para pengembang Rumah Sangat Sederhana (RSH). Akibat kebijakan ini nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp 9,88 triliun (2001) menjadi Rp 12,99 triliun (2002) dan Rp 26,95 triliun (2003). Akhirnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era pasca Gus Dur.
Yang juga harus dicatat adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Tani. Pada era Gus Dur, jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha. Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50% asalkan dibayar dengan tunai.
Menurutnya, kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2001. Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur. Bila luas lahan yang dimiliki petani kurang dari 0,5 Ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50%. Bila luas lahan 0,5-1 Ha, potongan utang pokok sebesar 35%. Bila luasa lahan lebih besar dari 1Ha, potongan utang pokok sebesar 25%.
Keenam adalah PT Telkom dan PT Indosat. Pada era Gus Dur terjadi pemisahan manajemen silang (cross management) dan kepemilikan silang (cross ownership) di tubuh PT Indosat dan PT Telkom. Tim ekonomi Gus Dur ingin agar antara kedua perusahaan ini berkompetisi secara fair, meninggalkan kerjasama terselubung yang selama ini dipraktekan keduanya. Kebijakan ini menyebabkan negara mendapatkan Rp 5 triliun tanpa menjual selembar saham.
Terakhir Bank Internasional Indonesia (BII). Awal Juli 2001, terjadi rush di Bank Internasional Indonesia (BII) yang awalnya hanya puluhan miliar rupiah kemudian mencapai Rp 500 miliar. Kondisi ini membahayakan sistem perbankan nasional. Saat itu IMF mengusulkan dua opsi, yaitu: 1) membail-out BII sebesar Rp 4,2 triliun; dan 2) melikuidasi BII yang memakan biaya Rp 5 triliun.
Tim ekonomi Gus Dur tidak menuruti nasehat IMF (karena IMF memiliki rekam jejak menjerumuskan Indonesia pada krisis ekonomi yang parah tahun 1997), namun memilih opsi sendiri.
Tim ekonomi segera menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah melalui Bank Mandiri “seolah-olah†mengakuisisi BII sebesar 80 persen.
Keesokan harinya pers release ditempel di seluruh cabang BII. Mengetahui bahwa pemerintah dan bank terbesar “berencana†mengakuisisi, para nasabah BII pun merasa aman dan mulai kembali menyimpan dananya. Kemudian tim ekonomi mengganti direksi BII dengan bankir-bankir didikan Bank Mandiri.
“Setelah itu kondisi BII pun kembali normal. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah bank diselamatkan dari rush tanpa melakukan bail-out dan likuidasi.
Laporan: Irfan Murpratomo