KedaiPena.Com – Revisi Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran saat ini menjadi salah satu program prioritas legislasi nasional di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Draft RUU Penyiaran sendiri sudah sudah berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR saat ini.
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSl) mengusulkan beberapa isu penting kepada pemerintah dan DPR yang saat ini tengah membahas revisi UU Penyiaran.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ATVSI Neil Tobing menjelaskan, secara umum ada tujuh isu penting ini akan menjadi acuan dari kemajuan industri pertelevisian di Indonesia.
Ketujuh isu tersebut, kata Neil, dimulai dari rencana strategis penyiaran dan blue print digital. Yang dimana nantinya Pemerintah harus menyiapkan secara matang rencana strategis digitalisasi penyiaran televisi untuk 25 tahun ke depan serta ‘blue print digital’ yang komprehensif.
“RUU Penyiaran haruslah visioner dan dalam penyusunannya harus melibatkan para pemangku kepentingan seperti pelaku industri penyiaran, regulator, industri terkait dan lain-lain,” jelas dia di Jakarta, Jumat (30/6).
Kemudian dia, kata Neil, rencana strategis ini juga akan membentuk ‘landscape’ beberapa jumlah pemain stasiun televisi yang ada di Indonesia saat ini serta pertumbuhan iklannya.
“Sebab, banyak stasiun TV baru yang pendapatannya mungkin hanya Rp10 milliar setiap bulan, tapi pengeluarannya mungkin Rp30 milliar, tiap bulan pemegang saham nombok. Itulah mengapa penting perencanaannya,” kata dia.
Untuk ‘blue print digital’ sendiri, tegas Neil, nantinya akan mengkhususkan kepada stasiun televisi digital. Sebab, hanya di Indonesia yang belum memiliki sistem ‘blue print’ tersebut.
“Bentuk ‘blue print’ misalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan rencana ‘broadband’ nasional, nah seperti itu. Jadi misalnya berapa frekuensi yang akan digunakan, teknologi TV digital apa saja tahun ini, lalu bagaimana lima tahun ke depan, di jabarkan,” ujarnya.
“Sehingga ‘blue print’ ini jadi panduan bagi pemerintah dan pemainnya juga yang mesti diikuti. Jangan kayak sekarang, dapat izin televisi bukannya dijalankan tapi dijual lagi izinnya. Kan banyak kejadian seperti itu. Kondisi kita sekarang parah,” ungkap dia.
Dilanjutkan Neil, pada poin kedua yakni keterlibatan asosiasi industri penyiaran dan pertelevisian harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Tujuannya agar tercipta sinergitas dan optimalisasi peran serta industri penyiaran dalam kebijakan dan perijinan penyiaran.
“KPI itu kan regulator. Nah yang diatur kan televisi. Tapi televisi itu tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebiajakan penyiaran,” jelas Neil.
Dengan keterlibatan asosiasi tersebut, ujar Neil, juga akan semakin membantu pemerintah untuk menerapkan prinsip ‘good government governance’ berdasarkan tiga pilar yaitu, Â pemerintah, dunia usaha dan juga masyarakat.
“Jadi, kalau pemerintah mau bikin kebijakan mereka bisa bertanya dahulu asosiasi. Intinya agar supaya industri TV makin maju dan tidak acak-acakan seperti sekarang,” ungkap dia.
Selanjutnya, tegas Neil, yang patut diperhatikan ialah penyelenggaraan 
’multipleksing sistem hybrid’ yang merupakan antitesa dari monopoli atau ‘single mux’. Dan ini merupakan bentuk pengejawantahkan pasal 28 F UUD 1945.
“Yang dimana bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh hak informasi”. Jadi penerapan sistem ‘hybrid’ merupakan bentuk nyata dari demokratisasi penyiaran dengan memberikan,” jabarnya.
Keempat, mengenai durasi iklan komersial dan layanan masyarakat, Neil mengusulkan menjadi 30 detik dari yang sebelumnya 20. Sebab pertumbuhan iklan selama ini hanya di kisaran 8 hingga 9 persen.
“Selain itu, kita ingin rokok tidak dilarang tapi dibatasi, baik jam tayangnya maupun kontennya. Kan di Undang-undang Penyiaran yang dilarang dalam iklan rokok adalah “wujud rokokâ€, sedangkan bentuk lain mengenai rokok tetap diperbolehkan,” imbuhnya.
Neil juga mengatakan, mendukung usulan siaran lokal mencapai 10 persen dari waktu siaran keseluruhan. Di mana materi siarannya berupa lintas budaya atau ‘cross culture’ suatu daerah untuk memperkuat NKRI.
Terakhir, mengenai IPP (Izin Penyelenggaran Penyiaran), Neil mengatakan bahwa harus ada mekanisme dan prosedur yang ketat sebelum dibatalkan.
“Harus ada mekanisme keberatan bagi pemegang IPP atas pembatalan IPP melalui jalur peradilan (‘due process of law’). Sebab, tidak mungkin para pengusaha yang sudah mengeluarkan dana triliunan dicabut begitu saja. Bagaimana nasib karyawan coba,” tegas dia.
“Jadi saya sangat berharap pemerintah dan DPR mau memperhatikan ke poin-poin ini. Sebab, ini merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan industri pertelevisian saat ini,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh