KedaiPena.Com – Anggota komisi VI dari Fraksi PKS Amin Ak menilai, kurugian yang dialami oleh Pertamina tidak disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu turunnya harga minyak dunia, anjloknya kurs rupiah terhadap US$ dan merosotnya permintaan BBM.
“Masalahnya, bukan hanya ketiga faktor tersebut yang menjadi penyebab kerugian Pertamina. Ada penyebab lain yang sangat membebani Pertamina. Semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi, aturan dan prinsip good corporate governance (GCG),” tegas Amin Ak, Sabtu, (5/9/2020).
Amin menambahkan, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar US$ 784 juta (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan Blok Rokan adalah hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019.
“Akibatnya Pertamina harus menerbitkan surat utang untuk membayar itu. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021,” beber Amin.
Kedua, lanjut Amin, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$ 8 per barel (blok Banyu Urip) dan US$ 11 per barel (blok Duri) dibanding ICP crude jenis lain.
Hal ini terlihat dari Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama.
Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedangkan lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua daerah tersebut dibeli Pertamina, maka nilai “kemahalan” yang harus dibayar Pertamina (asumsi US$/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari) adalah U$ 639 juta atau sekitar Rp 9,25 triliun.
“Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina,” tandas Amin Ak.
Sedangkan yang ketiga pertamina harus menanggung beban kebijakan populis menjelang Pilpres 2019, sehingga harus menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017.
Dalam penjelasannya pertamina menyebut akumulasi tanggungan Pertamina dari kebijakan tersebut adalah Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp13 triliun subsidi, total Rp 109,5 triliun.
“Karena utang pemerintah Rp109,5 triliun baru dibayar Rp45 triliun pada 2020 Pertamina harus menerbitkan surat utang. Pertamina menerbitkan bond US$ 750 juta (2018), US$ 1,5 miliar (2019) dan US 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65% hingga 6,5%,” tegas Amin Ak.
Amin Ak menegaskan, total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah US$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 sebesar US$ 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun.
“Akibat tiga kebijakan pemerintah yang disebutkan diatas beban keuangan SB Rokan Rp 11,3 triliun, beban membeli crude domestic mahal Rp 9,25 triliun, dan biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp3 triliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Apabila kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan PT Pertamina benar-benar sesuai konstitusi dan menerapkan prinsip-prinsip GCG PT Pertamina tidak rugi,” papar Amin Ak.
Terlebih lagi, kaga Amin Ak, di tengah menurunnya harga minyak mentah dunia sampai titik terendah belakangan ini pemerintah tak kunjung menurunkan harga BBM sehingga rakyat menyubsidi Pertamina sampai triliunan rupiah.
Diketahui, Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada tanggal 26 Agustus lalu, Direktur Keuangan PT Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab kerugian Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, anjloknya kurs rupiah terhadap US$ dan merosotnya permintaan BBM.
Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi, sedangkan turunnya permintaan BBM akibat covid-19 menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena pembukuan Pertamina berbasis US$.