KedaiPena.Com – Pemerintah harusnya memiliki prioritas dalam menangani krisis akibat pandemi Covid-19. Sayangnya saat ini Pemerintah tidak memiliki itu.
“Kebijakan (Pemerintah) tidak ada prioritas, ketika krisis, harus jelas prioritasnya. Ketika Covid-19, ada tiga hal yang menjadi prioritas. Pertama, untuk menangani pandemi corona, perlu biaya sekitar Rp400 triliun buat pencegahan vaksin dan lain-lain,” kata Begawan Ekonomi Rizal Ramli di Jakarta, ditulis Jumat (29/1/2021).
Yang kedua, sambungnya, perlu dana Rp400 triliun untuk memberi makan rakyat yang menganggur dan kesulitan ketika Covid-19. Lanjut dia, yang ketiga perlu uang Rp200 triliun untuk meningkatkan produksi pangan.
“Karena kalau pangan cukup, rakyat hatinya tenang, pikirannya tenang. Tapi kalau tidak ada pangan, hatinya marah, pikirannya marah. Apalagi resiko Covid-19 di pertanian nyaris tidak ada, karena petani kan bekerja dengan keluarganya terpencil berbeda dengan pabrik-pabrik,” jelas Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.
Kalau hal itu fokus dilakukan, maka cukup dengan anggaran Rp1000 triliun. Sehingga tidak berutang dan meminjam lagi, tidak perlu cetak uang lagi.
“Tetapi yang terjadi pemerintah tidak ada prioritas. Tetap saja proyek jalan, bangun ini dan itu. Karena sudah kebiasaan setiap pembangunan proyek infrastruktur pasti ada uang sogokan untuk pejabat dan birokrat. Kalau tidak ada proyek dia tidak ada pendapatan,” beber Rizal.
“Padahal tahun 98, ketika krisis kita hentikan dulu proyek besar selama dua tahun, setelah dua tahun kita punya uang baru kita mulai lagi,” lanjut eks Tim Panel Ekonomi PBB ini.
Saat ini, Pemerintah mau banyak hal, tetapi tidak ada uang. Akibatnya, perlu meminjam uang lebih banyak lagi. Padahal, berutang lebih banyak resikonya. Dan pada akhirnya terpaksa Bank Indonesia cetak uang.
“BI menyerah sudah mencetak uang. Sampai hari ini Rp367 triliun sudah dicetak. Mungkin mau nangis, mau buat Rp1000 triliun, dan ini kan berbahaya,” lanjutnya.
Rizal pun mengingat di masa akhir pemerintahan Bung Karno, saat Tuan Jusuf Muda Dalam menjabat Gubernur Bank Indonesia. Karena panik, BI mencetak uang lagi terus, sehingga rupiah tidak ada harganya lagi.
“Pada akhirnya inflasi 100 persen dan yang susah. Kebutuhan rakyat naik harganya dan akhirnya rakyat marah, jatuhlah Bung Karno. Ini terlihat kepanikan karena tidak fokus yang dikerjakan,” kata Rizal lagi.
“Krisis dalam bahasa Cina itu mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi artinya krisis, dan satu sisi ‘opportunity’, kesempatan. Dan ujian kepemimpinan justru pada krisis, terlihat siapa yang paling hebat, bagus dan siapa yang memble,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh