KedaiPena.Com – Anggota DPR XI RI Heri Gunawan mendorong agar tim ekonomi di Kabinet Indonesia Maju pemerintahan dapat bekerja secara maksimal dalam mengejar target pencapaian ekonomi.
Pasalnya, Heri begitu ia disapa menganggap target pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi periode sebelumnya masih belum maksimal.
“Kabinet Indonesia Maju telah dilantik. Tugas besar telah menanti, terutama di bidang ekonomi yang pada periode lalu menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan,” kata Heri kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Menurutnya, paradoks perekonomian Indonesia lima tahun terakhir harus menjadi catatan, khususnya di Kementerian Keuangan dalam mengambil kebijakan lima tahun ke depan.
“Harus kita ketahui dan menjadi catatan bagi Kementerian Keuangan bahwa pertumbuhan ekonomi kita yang hanya mencapai 5% menempatkan Indonesia di peringkat ke-33 dunia, yang menegaskan bahwa Indonesia belum pernah mengalami pertumbuhan double digit (lebih dari 10%),” ungkap Kapoksi Komisi XI itu.
“Begitu juga dengan pendapatan perkapita kita yang masuk kategori menengah-rendah juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-114 di dunia,” tambahnya.
Menurutnya lagi, bila pertumbuhan ekonomi terus hanya berada di kisaran 5% bahkan mungkin tidak sampai, berarti Indonesia tidak akan mungkin sampai pada kategori negara maju (pendapatan perkapita lebih dari USD 12.000).
Selain hal, Heri yang juga Wakil Ketua Fraksi Gerindra di DPR itu mengingatkan agar pemerintah mencermati masalah perpajakan.
“Karena rasio pajak kita termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika,” ungkapnya.
Begitu juga dengan masalah deindustrialisasi. Lanjut dia, industri nasional yang vital seperti baja terus kedodoran.
“Daerah industri seperti Batam pertumbuhan ekonominya jatuh hingga 2%,” kata dia.
Selain itu, kata dia, kondisi perekonomian Indonesia saat ini juga cukup rentan karena defisit transaksi berjalan yang sangat besar (USD -8,4 miliar) ditambah lagi dengan +/- 50% surat utang Pemerintah yang dipegang oleh asing.
Yang mesti jadi catatan lainnya juga, kata dia, pengurangan angka kemiskinan lim tahun lalu juga sangat lambat (paling cepat adalah di era Gus Dur).
“Namun tetap kita berikan apresiasi karena berhasil menembus di bawah 10%,” ujarnya.
Adapun terkait Gini Ratio, kata Heri, Gini Ratio saat ini (0,38) bukanlah yang terbaik,
“Indonesia pernah berhasil memiliki angka Gini Ratio yang sangat rendah (0,31) mendekati negara-negara welfare state (Gini ratio 0,20-0,30) pada tahun 2000,” terangnya.
Tak hanya itu, menurutnya, catatan terpenting juga perihal pengelolaan APBN yang masih mengadopsi konsep yang sudah terbukti gagal di banyak negara, yaitu masih menggunakan metode austerity policy (pengetatan anggaran).
“Karena terbukti bahwa konsep austerity policy yang eksesif malah menimbulkan penolakan dari rakyat sehingga mengarah pada krisis politik. Dan pada saat yang sama, 30% APBN kita habis digunakan untuk membayar kewajiban utang sebesar Rp 680-an triliun,” tandasnya.
Hal itu juga disebabkan oleh tingginya beban bunga utang diakibatkan kebijakan pemberian kupon/bunga surat utang yang terlalu tinggi, sekitar 2-3 persen lebih tinggi dari negara-negara yang credit ratingnya di bawah Indonesia, tambahnya.
“Jika kita bisa bernegosiasi agar bunga surat utang diturunkan menjadi 1,5%, bukan tidak mungkin kita menghemat anggaran sekitar Rp29 triliun yang bisa digunakan menutup defisit BPJS Kesehatan,” katanya.
Dan kondisi yang harus kita ketahui juga saat ini adalah turunnya indeks daya saing Indonesia menurut World Economic Forum.
“Padahal saat ini indeks daya saing negara-negara tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand mengalami kenaikan. Semoga hal-hal ini dapat menjadi catatan serius untuk Kementerian Keuangan guna mencapai Indonesia Maju, Adil Makmur dan Sejahtera,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh