KedaiPena.Com – Pemerintah telah menunjuk PT. Garam untuk mengimpor 75.000 Ton garam dari Australia. Hal ini terkesan dipaksakan dan rawan ditunggangi rente bisnis politik yang berujung korupsi.
Menyikapi hal tersebut, peneliti INDEF Nailul Huda berpendapat, kelangkaan garam industri ini sebuah pelajaran penting bagi pemerintah untuk selalu membuat kebijakan yang melihat kondisi yang akan datang dan tepat pada akar permasalahan. Kebijakan impor jangan selalu dijadikan solusi instan dan satu satunya solusi kebijakan pangan.
Kebijakan dengan melihat kondisi yang akan datang maksudnya adalah kejadian ini bisa diprediksi jauh-jauh hari karena garam untuk industri memang belum bisa dipenuhi oleh petani garam lokal.
“Jadi pemerintah sudah bisa memprediksi adanya kelangkaan ini dan sudah menyiapkan stok garam industri. Dan juga pemerintah harus membangun infrastruktur produksi dan pemberdayaan petani,” lanjut Huda dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, Rabu (2/8).
Penolakan juga disampaikan oleh Niko Amrullah Wakil Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di Jakarta.
“Ingat kisah lalu, bahwa Dirut PT. Garam Achmad Boediono menjadi tersangka atas kasus penyelewengan impor garam. Bukan menambah kesejahteraan petambak garam rakyat, namun justru semakin meminggirkan mereka terhadap mekanisme pasar, ungkap Niko Amrullah Wakil Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di Jakarta.
Niko menambahkan bahwa semestinya gejolak harga garam ini telah terprediksi jauh-jauh hari, dengan solusi inovasi teknologi dan pendampingan intensif kepada para petambak garam rakyat, bukan dengan mengkambinghitamkan anomali cuaca.
Di lain hal, Deputi Sekjen FITRA, Apung Widadi menilai, pasca kasus Dirut PT. Garam yang segera disidang, maka PT. Garam perlu diaudit terlebih dahulu dan dinilai kemampuannya dalam impor 75.000 Ton Garam. Dengan analisis ekonomi, kebutuhan pangan dan nasib nelayan, maka semestinya impor tidak perlu dilakukan. Dan PT Garam pun belum sanggup.
Jika dipaksakan tanpa kajian dan analisis semua stakeholder maka impor 75.000 ini dikhawatirkan akan menjadi bancakan rente politik bisnis pangan. Menguntungkan kelompok rente, masyarakat dan petani garam yang dirugikan.
“Visi jangka panjang, anggaran untuk petani garam yang sudah dianggarkan di APBN harus jelas dan dikawal untuk peningkatan produksi garam petani dengan prioritas pembangunan infrastruktur produksi,” tutup Apung.
Laporan: Galuh Ruspitawati