Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Jalur kereta api dibikin pemerintah kolonial terutama untuk memaksimalkan penjajahan, yaitu sebagai sarana eksploitasi komoditas pangan dan hasil bumi.
Dari uang hasil Tanam Paksa Belanda membangun jalur kereta (1864) yang semakin melibatkan Pulau Jawa dalam perdagangan internasional, tetapi semakin memiskinkan petani.
Infrastruktur kota-kota kolonial waktu itu juga dibenahi. Ibu kota Tanah Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung (1865), seiring didirikannya jalur baru transportasi perkebunan.
Kota-kota metropolis baru kolonial seperti Semarang, Surabaya, juga terus berkembang, karena pembangunan jalur kereta.
Ide kolonial membangun jalur kereta baru dan ibu kota baru jika dipahami dalam konteks sejarah ternyata bukanlah hal yang baru, yang kini diadopsi kembali oleh rezim hari ini, melalui proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Infrastruktur-infrastruktur tersebut dibangun dengan esensi yang sama, yaitu untuk mempercepat dan mengefisiensikan praktek kolonialisme.
Perbedaannya, infrastruktur kolonial Belanda dibangun masih dengan perencanaan, sehingga sebagian legacy-nya seperti jalur kereta api sampai sekarang masih dapat dimanfaatkan.
Infrastruktur kolonial Belanda masih menghasilkan tokoh-tokoh ikonik seperti Wolf Schoemaker guru arsitek Sukarno dengan karya-karyanya berupa bangunan-bangunan penting, Karel Albert Rudolf Bosscha pendiri observatorium Bosscha, dan beberapa nama lagi.
Sedangkan infrastruktur hari ini, menurut tokoh nasional Dr Rizal Ramli dibikin dengan motif cuan belaka. Yaitu “yang penting ada proyek”.
Dibangun tanpa perencanaan dan tidak didedikasikan untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat umum.
“Mis-planning, mis-feasibility study. Hasilnya mimisan,” kata Rizal Ramli, menggambarkan ironi yang terjadi dalam pembangunan infrastruktur saat ini.
Selain itu motif “yang penting ada proyek” seperti yang terjadi sekarang adalah sangat bertolak belakang dengan pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang umumnya berdasarkan planning.
“Kalau sekarang pakai gaya Pak Ogah. Sikat bleh, yang penting ada proyek. Pembangunan saenake dewe. Hancur,” tandas Rizal Ramli.
Pak Ogah yang dimaksud ialah tokoh pemalas dalam serial boneka Si Unyil yang ditayangkan oleh TVRI tahun 1980-an. Terkenal dengan dialognya yang menyebalkan: “cepek dulu dong, dan ogah ah,”.
Proyek infrastruktur seperti pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, dan mangkraknya Bandara Sudirman di Purbalingga, serta Bandara Kertajati, Majalengka, adalah contoh pembangunan yang tidak berdasarkan planning atau saenake dewe.
Akibatnya terjadi pembengkakkan biaya dan potensi merugi. Sehingga proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung misalnya, dipaksakan memakai duit APBN.
Tragisnya pemaksaan proyek-proyek tersebut dilakukan di tengah jeritan kesulitan hidup rakyat akibat hancurnya tatanan perekonomian negara.
Di tengah berbagai lakon kerusakan ini perspektif sejarah sangat penting digunakan untuk memahami berbagai ketimpangan dan praktek munculnya kolonialisme baru yang sedang terjadi.
Sebab, seperti kata ungkapan lama: ‘History never really says goodbye. History says, see you later‘.
[***]