Artikel ini ditulis oleh Mantan Staf Kemenko Maritim, Gede Sandra
Berdasarkan Statistik Utang Sektor Publik Indonesia tahun 2014, posisi utang pemerintah pusat (bruto) pada akhir tahun 2014 adalah sebesar 209 miliar Dollar Amerika atau dengan kurs saat itu menjadi sebesar Rp2.599 triliun.
Setelah menjabat lebih dari tujuh tahun, posisi utang sektor publik Indonesia hingga akhir Februari tahun 2022 berada pada posisi Rp7.014 triliun. Atau meningkat 170 persen bila dibandingkan akhir 2014.
Selama menjabat, Jokowi telah menambah utang sektor publik sebanyak Rp4.415 triliun. Pertambahan di era ini jauh lebih besar daripada akumulasi utang seluruh Presiden Republik Indonesia sebelum Jokowi.
Namun jumlah ini belum ditambah dengan utang BUMN. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012, BUMN secara legal tidak dikategorikan sebagai sektor publik. Logika hukum seperti ini boleh saja diterima, tapi faktanya BUMN bila merugi selalu ditalangi oleh Pemerintah, utangnya tetap dibayari publik.
Pertambahan utang BUMN selama pemerintahan Jokowi juga terjadi secara cukup dramatis. Pada akhir tahun 2014, posisi utang BUMN (non Lembaga keuangan) adalah sebesar 40 miliar Dollar Amerika atau Rp504 triliun.
Setelah delapan tahun, posisi utang BUMN pada awal tahun 2022 adalah Rp1.012 triliun. Artinya terjadi peningkatan utang BUMN sebesar 100 persen bila dibandingkan posisi awal Jokowi menjabat.
Bila dijumlahkan, pertambahan utang sektor publik dan BUMN selama Jokowi memerintah adalah sebesar Rp4.923 triliun.
Lalu dengan tambahan utang sebesar Rp4.923 triliun ini apa yang sudah didapatkan oleh Bangsa dan Rakyat Indonesia?
Kita akan lihat. PDB perkapita Rakyat Indonesia hanya bertambah dari 3.491 Dollar Amerika (Rp 41,8 juta) di tahun 2014 menjadi Rp62,2 juta, atau meningkat 41 persen. Yang artinya setiap tahunnya, PDB perkapita hanya tumbuh rata-rata 5,8 persen. Coba bandingkan dengan persentase peningkatan utang sektor publik yang mencapai 170 persen dalam tujuh tahun atau 25 persen pertahun, jelas tidak sebanding.
Bagaimana dengan angka kemiskinan. Pada akhir tahun 2014, angka kemiskinan adalah sebesar 27,7 juta jiwa (10,96 persen penduduk). Pada tahun 2021, angka kemiskinan adalah sebesar 26,6 juta (9,7 persen penduduk). Selama tujuh tahun pemerintahannya, Jokowi hanya berhasil menurunkan kemiskinan sebanyak 1,1 juta orang. Sangat kecil, tidak ada artinya dengan banyaknya utang yang dibuat Jokowi.
Juga bagaimana dengan angka pengangguran. Pada akhir tahun 2014, angka pengangguran adalah sebesar 7,2 juta jiwa. Sementara pada akhir tahun 2021, angka pengangguran adalah sebesar 9,1 juta jiwa. Selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi, pengangguran malah meningkat 1,9 juta jiwa! Artinya utang yang dibuat Pemerintahan Jokowi sama sekali tidak berdaya untuk menghadapi penambahan pengangguran yang terjadi selama pemerintahannya.
Kesimpulannya penambahan utang sebesar Rp4.923 triliun selama pemerintahan Jokowi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pendapatan perkapita hanya naik 5,8 persen setahun, sementara utang bertumbuh 25 persen setahun. Kemiskinan hanya turun 1,1 juta jiwa, sementara pengangguran malah bertambah banyak 1,9 juta jiwa! Ini membuktikan terjadi inefisiensi yang sangat massif dalam pengelolaan utang pemerintah.