KedaiPena.com – Aktivitas industri manufaktur lesu secara global. Tercermin dari angka Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur yang anjlok di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Hal ini pun dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa data PMI Manufaktur per Agustus 2024 54,2 persen negara-negara G20 dan ASEAN-6 kontraksi atau di bawah batas 50, sedangkan hanya 45,8 persen yang berada di zona ekspansi.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan sebetulnya pelemahan industri manufaktur sudah berlangsung satu dekade terakhir, berbalik arah saat masa pemerintah orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Ia memaparkan bahwa Indonesia pernah mencapai beberapa poin penting industrialisasi saat orde baru yang membuat laju pertumbuhan ekonomi sangat kencang. Pertumbuhan kala itu mencapai 8 – 9 persen. Rata-rata pertumbuhan 8 persen pernah dicapai pada 1989 hingga 1996.
“Jika dilihat era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bahwa pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha, Selasa (24/9/2024).
Namun pada satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, industri manufaktur kehilangan kekuatannya. Kontribusi sektor industri terus menurun, dari level 25 persen terhadap produk domestik bruto menjadi hanya sekitar 18 persen pada 2023.
“Hal itu salah satu titik cukup rendah dibandingkan prestasi di tahun 80an. Seolah-olah kembali terjadi de-industrialisasi dini,” ujarnya.
Eisha menjelaskan, masalah industri nasional masih bertumpu pada komoditas bukan teknologi tinggi. Produktivitas juga rendah seiring dengan masalah tenaga kerja. Indonesia masih tertinggal dari China dan Jepang. Daya saing tenaga kerja juga masih di bawah Thailand.
“Juga inovasi dan teknologi, lalu masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan, beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor,” ujarnya lagi.
Situasi tersebut harus diubah pada era pemerintahan Prabowo. Menurut Eisha, Indonesia memiliki kemampuan untuk kembali tumbuh tinggi dengan segala sumber daya yang ada.
“Seharusnya dengan economy complexity yang tinggi sebenarnya menunjukkan Indonesia akan mampu memproduksi dengan baik, nilai tambahnya tinggi, berkualitas dan high tech technology, sehingga bisa memberikan produktivitas dan memiliki inovasi dan keterampilan tinggi. Hingga kemudian bisa menaikkan daya saing ekspor. Pada gilirannya akan menumbuhkan ekonomi dan mendorong penggunaan emisi, menyediakan lapangan kerja, menurunkan pengangguran dan mengurangi kemiskinan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa