Artikel ini ditulis oleh Ir S Indro Tjahyono, Tokoh Gerakan Mahasiswa 77/78.
Situasi jelang peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) mirip dengan keadaan saat ini.
Presiden Suharto semakin otoriter, kebijakan pemerintah diambil secara sepihak setelah melumpuhkan Parlemen.
Bedanya saat ini partai politik dan lembaga legislatif dibius dan dilumpuhkan dengan uang.
Sama dengan Suharto yang pegang tampuk kekuasaan berkat Gerakan Mahasiswa 1966, Jokowi menjadi presiden karena dukungan relawan dari seluruh kelompok masyarakat.
Sedangkan para calon legislatif pada 2014 hanya sebagian kecil yang memasang gambar Jokowi pada poster kampanyenya. Mendekati penghujung kekuasaannya, keduanya berkhianat terhadap Ampera dan Nawacita, bahkan mempecundangi aspirasi pendukungnya.
Berbeda dengan Suharto, walau penuh kekecewaan, sebagian aktivis diakomodir sebagai pengambil keputusan di lembaga legislatif dan eksekutif.
Pada masa Jokowi, pemerintah tidak melibatkan aktivis kritis di pemerintahan, karena dianggap merecoki kebijakan mereka yang serba diskretif (menerabas rambu hukum).
Puncaknya adalah ketika diterbitkannya UU Cipta Kerja yang menghilangkan eksistensi banyak undang-undang.
Seperti Suharto yang menganggap lebih mudah menjadi koloni daripada membangun potensi ekonomi anak bangsa yang mandiri; Jokowi juga melaksanakan kebijakan ekonomi bebas, memberi konsesi, memberi peluang investasi asing yang sangat liberal, ekonomi ekstraktif, kebijakan upah buruh rendah, serta utang luar negeri secara tidak proporsional.
Pada masa Suharto ada proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII), saat ini ada proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang bersifat mercusuar karena merupakan program non prioritas.
Pimpinan nasional bisa melenggang kangkung, karena kehidupan demokrasi telah dibuat sekarat.
Dengar pendapat dengan DPR dihambat, pertemuan dengan Presiden dipilih-pilih, protes ke kementerian dianggap angin lalu, melapor ke polisi tidak digubris, bikin tuntutan kolektif dituduh pencemaran nama baik dan makar.
Sedangkan unjuk rasa dihadapi dengan penangkapan dan kekerasan.
Malari terjadi dalam situasi tersebut, demikian pula dengan aksi gerakan mahasiswa 1977/1978 dan 1998, saat itu demokrasi menghadapi jalan buntu.
Dalam hal inilah demokrasi akan mencari peluang untuk memilih jalan keluarnya sendiri.
Inilah mengapa dalam kajian akademis terhadap pasal-pasal konstitusi oleh Daniel Lansberg Rodriguez dikatakan bahwa seperlima negara di dunia, orang secara hukum diperbolehkan melawan pemimpin yang melampaui batas.
[***]