KedaiPena.com – Pengamat Pendidikan Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji menyatakan berdasarkan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang menjadi hukum dasar tertulis dan konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia, seharusnya program mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi prioritas bagi siapapun yang ditunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan.
“Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan jumlahnya terus meningkat. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp665 triliun pada 2024. Walaupun demikian, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan kita seperti yang sudah dikaji oleh Bank Dunia sejak tahun 2013 dalam sebuah tulisan berjudul Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia,” kata Indra, saat dihubungi, Kamis (2/5/2024).
Ia menyebutkan di tingkat internasional, pendidikan Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional tahun 2022, Indonesia berada di urutan 69 dari 77 negara.
“PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains, dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun, sayangnya skor PISA Indonesia semakin turun untuk ketiga kemampuan tersebut,” urainya.
Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains di level internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita.
“Laporan UNESCO menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat tingkat literasi Indonesia hanya menduduki peringkat 60 dari 61 negara, menurut kajian dalam World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University,” urainya lagi.
Di pendidikan tinggi, peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar, data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan Universitas di peringkat 50 dari 50 negara.
Beberapa artikel tentang pendidikan Indonesia pun cukup menyayat hati. Seperti: Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka; Ternyata 42% Anak Indonesia Tidak Ada Gunanya; Indonesia Negara Kumpulan Anak Dungu, yang merupakan tulisan Elizabeth Pisani seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat.
Kajian dari Centre for Education Economics dari Inggris yang dipublikasikan tahun 2018 yang lalu juga menyatakan bahwa anak Indonesia siap menghadapi abad 21 di abad 31 karena adanya komplasensi.
“Artinya, menganggap semua baik-baik saja alias adanya kepuasan diri yang tinggi dengan kondisi yang ada dan program pemerintah bidang pendidikan yang itu-itu saja, istilah mereka BAUWMM (Business as Usual with More Money) alias programnya sama tapi anggarannyat ditambah terus, hanya nama saja diubah,” kata Indra lebih lanjut.
Data yang terpampang dalam situs web Rapor Pendidikan yang dibuat oleh Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) – Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dari hasil Asesmen Nasional (AN) atau Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tahun 2022 menyebutkan bahwa kurang dari 50 persen siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca di tingkat SD dan SMP secara nasional, sementara di level SMA/K sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca namun perlu upaya mendorong lebih banyak siswa menjadi mahir. Untuk numerasi, kurang dari 50 persen siswa telah mencapai batas kompetensi minimum pada tingkat SD, SMP, dan SMA/K secara nasional.
“Hasil capaian tersebut sungguh ironis apabila dibandingkan dengan puluhan ribu triliun uang rakyat yang telah digelontorkan sejak adanya UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” ujarnya.
Begitu juga dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) SMP yang terus mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun pelajaran 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun pelajaran 2017/2018. Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga mempunyai kecenderungan serupa yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018.
Meskipun Kemendikbud Ristek selalu berargumentasi bahwa penurunan rerata UN dikarenakan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lebih mengedepankan integritas. Namun, pembiaran tersebut tanpa ada perubahan dalam sistem maupun proses merupakan suatu penurunan dalam mutu pendidikan.
“Rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, berdampak pada karakter siswa. Masyarakat sungguh terkaget-kaget melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur. Kita juga terheran-heran melihat bagaimana siswa masa kini berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Tahun 2022 yang lalu, Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft menempatkan warganet Indonesia sebagai warganet yang paling biadab / tidak sopan se-Asia Pasifik, ini adalah antitesa pendidikan yang berlandasakan Pancasila. Mutu pendidikan disini tidak berhenti pada kondisi murid saja, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana dan prasarana,” ujarnya lagi.
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut. Hal ini muncul pada kajian OECD di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa anak Indonesia adalah kelompok yang paling tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini karena tidak mampu mencari referensi yang kredibel. Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran.
“Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa