KedaiPena.com – Komitmen Indonesia melalui FOLU Net Sink 2030 yang mendorong tercapainya tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030 melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis, merupakan wujud nyata dari komitmen sektor kehutanan Indonesia. Tidak hanya untuk kepentingan nasional, tetapi juga untuk berkontribusi kepada masyarakat global menuju pemulihan hijau, sekaligus membangun ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, inisiatif kebijakan terbaru Indonesia tentang Hutan dan Tata Guna Lahan Lainnya – Rencana Operasional Net-Sink FOLU 2030, mengakui bahwa sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) nasional, menjadi net emitor ke penyerap bersih GRK.
Dalam hal ini, Indonesia berpandangan bahwa tiga jalur yang saling terkait terdiri dari menghentikan deforestasi dan memelihara kelestarian hutan, memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri, serta pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau. Ketiga elemen tersebut tidak hanya menunjukkan hubungan antara hutan dan pertanian, tetapi juga antara hutan dan iklim. Seperti yang dipahami bahwa ada relevansi sosial dari bumi atau sistem pertanahan.
“FOLU Net Sink 2030 mencerminkan pengakuan kami terhadap peran ekosistem, air tawar, tanah dan tanah yang sehat dalam memastikan sistem pangan yang berkelanjutan serta keamanan dan keamanan pangan global. Sebagai bagian integral dari respons kami terhadap tantangan global saat ini, kami perlu memastikan bahwa upaya kami untuk memperkuat ketahanan pangan global akan berjalan seiring dengan langkah-langkah kami untuk mencapai tujuan kami terkait dengan sumber daya air, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, degradasi lahan, pengurangan polusi, dan keanekaragaman hayati,” kata Siti dalam Panel Tingkat Tinggi tentang Keterkaitan Pertanian dan Kehutanan, agenda ke-6 dari The Committee on Forestry (COFO)-26, di Roma, Italia, ditulis Rabu (5/10/2022).
Ia menyampaikan FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon (sink).
Selanjutnya, dalam pengelolaan hutan lestari, Indonesia telah menetapkan peraturan tentang model kehutanan multi-usaha yang memungkinkan pemanfaatan kayu, produk non-kayu, termasuk makanan, serta jasa lingkungan. Peraturan ini mendukung penerapan agroforestri, silvofishery, silvopasture dan ekowisata dan penyembuhan, serta dalam skema penyerap karbon.
Kebijakan utama lainnya dalam melengkapi FOLU Net Sink 2030 adalah program perhutanan sosial. Perhutanan sosial dikembangkan dan dirancang untuk menerapkan dasar konseptual pembangunan berkelanjutan, yang layak secara ekonomi, dapat diterima secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis. Program perhutanan sosial difokuskan pada kawasan yang rawan deforestasi dan masyarakat yang bergantung pada hutan sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Kawasan Perhutanan Sosial (PIAPS).
Program perhutanan sosial Indonesia telah dirancang untuk mengatasi keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, dengan tetap mempertimbangkan penerimaan sosial. Oleh karena itu, ini adalah contoh nyata keterkaitan antara hutan dan pertanian dalam mengatasi perubahan iklim.
“Melalui pencapaian kami hingga saat ini, kami optimis dapat memperkuat keterkaitan antara kehutanan dan pertanian,” ungkapnya.
Program perhutanan sosial telah mencakup sekitar 25.000 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, dari total sekitar 80.000 desa di Indonesia. Program tersebut juga mencakup sekitar 5 juta ha kawasan hutan yang melibatkan sekitar 1,1 juta rumah tangga. Dari 5 juta ha, sekitar 875 ribu ha merupakan tutupan vegetasi alami yang rapatnya rendah (sekitar 10 persen).
Perhutanan Sosial melibatkan sekitar 1.600 kelompok tani hutan dimana sekitar 1.300 kelompok menggarap tanaman pangan. Tanaman pangan yang dikembangkan melalui perhutanan sosial antara lain kopi, tanaman semusim, jagung, kakao, lada, kemiri, serta buah-buahan seperti mangga dan nangka.
“Pemerintah memfasilitasi masyarakat lokal untuk penguasaan tanah, memberikan kesempatan untuk framing yang lebih baik dan bisnis yang lebih baik, dan keterampilan manajerial, dalam kerangka menghormati ekologi dan menjaga hutan berfungsi dengan baik,” ungkapnya lagi.
Lebih lanjut, ia mengatakan program perhutanan sosial juga dilaksanakan melalui pengelolaan dan restorasi lahan gambut, dengan menggunakan paludikultur sebagai teknik untuk memulihkan ekosistem lahan gambut yang terdegradasi. Kegiatan ini mencakup penanaman hasil hutan bukan kayu yang meniru ekologi hutan gambut, dengan menggunakan spesies asli gambut.
“Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merupakan provinsi terdepan dalam penerapan paludikultur,” kata Siti.
Terkait dengan konservasi hutan, FOLU Net Sink 2030 juga menerapkan program kemitraan konservasi untuk pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat lokal mendapatkan akses ke kawasan konservasi dalam bentuk pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan sumber daya perairan tradisional, budidaya tradisional, dan berburu spesies yang tidak dilindungi.
Laporan: Ranny Supusepa