KedaiPena.com – Fenomena arus laut tanpa disadari memiliki pengaruh besar pada setiap aspek di daratan. Tak hanya cuaca tapi juga aspek ekonomi. Sehingga dengan memahami fenomena yang terjadi di lautan, pemerintah maupun pemangku kepentingan dapat mengeluarkan kebijakan berdasarkan peringatan dini yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang.
Ahli Oseanografi Terapan, Widodo Setiyo Pranowo menjelaskan interaksi antara batimetri dan sirkulasi arus dengan atmosfir menciptakan suatu kondisi yang dapat diterjemahkan menjadi suatu data. Dan data ini akan dapat dibandingkan dengan data paleo meteorologi dan oseanografi. Dengan mempelajari kejadian di masa lampau maka kejadian saat ini dan kejadian di masa depan dapat diprediksi dengan lebih baik, untuk persiapan langkah adaptasi dan mitigasi bila menimbulkan suatu bencana alam.
“Dari pengolahan data ini, maka terlihat keterkaitan dari suatu wilayah yang jauh dengan cuaca di wilayah lainnya. Misalnya peningkatan suhu permukaan laut yang membangkitan anomali angin di selatan Laut Jawa dapat menyebabkan siklon tropis dan banjir di Hunan China pada Juli 2021 yang lalu,” kata Widodo dalam acara diskusi Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Sabtu (18/12/2021).
Ia menjelaskan sirkulasi air laut dapat memiliki dua dampak. Ada yang membawa berkah dan ada juga yang membawa bencana.
“Disini terlihat bahwa sirkulasi laut di indonesia dapat mempengaruhi cuaca yang ada di dunia. Dan batimetri Indonesia yang kompleks, yang merupakan wadah dari air laut, akan mengarahkan aliran air laut, yang merupakan refleksi arus laut mengalir,” urainya.
Dimana batimetri Indonesia bagian barat lebih dangkal dan batimetri Indonesia bagian timur lebih dalam.
“Untuk di Samudera Hindia yang posisinya di selatan Jawa, ditemukan adanya upwelling dan downwelling. Bahkan downwellingnya kadang bisa mencapai 600 meter ke bawah. Letaknya pun acak. Sehingga, secara alamiah membentuk suatu ekosistem perikanan yang subur,” urainya lebih lanjut.
Upweling membawa zat hara dari laut dalam menuju permukaan laut yang kemudian digunakan khlorofil untuk menghasilan biomassa karbon dan oksigen. Biomassa karbon dan oksigen, selain dikonsumsi oleh ikan di lapisan permukaan laut, ada yang dibawa ke lapisan laut dalam oleh downwelling, untuk mensuplai kebutukan makanan dan oksigen ikan-ikan yang di lapisan bawah permukaan laut tersebut.
Data-data suhu laut, arus pusaran yang mengindikasikan adanya upwelling, dan khlorofil ini, menurut Widodo selanjutnya, dapat dijadikan patokan untuk penangkapan ikan jenis tertentu, baik secara waktu dan lokasinya.
“Misalnya Lemuru. Ikan ini sangat dipengaruhi oleh fenomena telekoneksi atmosferik dari Samudera Pasifik, meskipun secara geografis letaknya berada di Selat Bali yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Dimana saat La Nina, ikan Lemuru yang di Selat Bali beberapa kali kejadia adalah menghilang, seperti di tahun 2010, 2016, dan 2017. Sehingga akan mempengaruhi industri pengalengan ikan di muncar. Sebetulnya, kondisi ini bisa membuka kolaborasi antara BMKG dengan KKP, untuk memberikan peringatan dini yang bukan hanya cuaca dan potensi bencana hidro-meteorologi semata, tapi juga untuk potensi sumber daya kelautan,” kata Widodo.
Peringatan dini terkait potensi akan kelangkaan ikan lemuru di Selat Bali karena misalkan La Nina akan terjadi dalam 3-4 bulan ke depan.
“Maka apabila peringatan tersebut telah diketahui oleh industri pengalengan ikan sardin/lemuru, maka mereka bisa segera mengambil ancang-ancang untuk mengatasi masalah pasokan ikan lemuru tersebut. Nelayan penangkap lemuru, juga bisa melakukan perencanaan lebih lanjut alih pekerjaan sementara dalam rangka agar dapur tetap ngebul,” imbuhnya.
Tapi saat La Nina pula, perairan di utara Halmahera akan mengalami kelimpahan ikan Cakalang.
“Tinggal bagaimana pemerintah bisa memfasilitasi infrastruktur nelayan agar bisa melakukan penangkapan di laut dalam dengan kondisi gelombang yang tinggi dengan kapal yang memiliki kestabilan tinggi dan yang bisa menjamin keselamatan awak nelayan baik ketika bekerja maupun ketika pelayaran,” ujar Widodo.
Pergerakan arus laut ini juga menjadi poin penting dalam hal penanganan sampah yang masuk ke badan air.
“Saat penelitian di Muara Gembong, terlihat alat drifter yang dilarungkan di badan sungai, kemudian mengalir ke muara, bergerak mengarungi Laut Jawa menuju ke timur, berbelok ke Selat Lombok, lalu melewati kaqasan manta point di nusa penida sebelum kemudian keluar dari Selat Lombok menuju ke Samudera Hindia. Di Samudera Hindia selatan Jawa, drifter seberat kurang dari setengah kilogtam menyerupai sampah tersebut, bergerak mengarah ke barat melintasi perairan Pulau Cocos yang terletak jauh di selatan Pulau Jawa. Sehingga, bisa terlihat, sampah yang masuk ke badan sungai akan terbawa ke laut dan akan bergerak sesuai arus yang menyebabkan penanganannya akan semakin sulit,” pungkasnya.
Laporan : Natasha