Artikel ini ditulis oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (SMC).
Anies Baswedan telah dihadang menghadiri diskusi di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (8/10/23) lalu. Acara yang diselenggarakan Change Indonesia, yang diorganisir Maman Imanul Haq dan Andreas Marbun tersebut dicabut ijinnya malam hari sebelum sehari sebelum pelaksanaan.
Penghadangan Anies juga hampir terjadi pada minggu sebelumnya (1/10/23), ketika segelintir makhluk yang mengatasnamakan mahasiswa menuntut pembatalan acara Ngariung 1000 alumni ITB dengan Anies di gedung BMC, maupun acara jalan santai Anies di stadion Jalak Harupat Soreang, yang diperkarakan sebagai milik pemprov Jabar.
Perbedaan yang mencolok adalah gedung dan fasilitas pemerintah lainnya di Jabar bebas digunakan Kaesang si anak Jokowi dalam temu akbar politik Stadion Arcamanik maupun parpol lainnya pendukung pemerintah. Inilah diskriminasi nyata.
Alasan plt gubernur Jabar tidak masuk akal. Sebab, mengatakan fasilitas pemerintah tidak dapat digunakan untuk aktifitas politik sangat bias. Apalagi jika melihat Jokowi selalu menggunakan istana dan fasilitas negara dalam semua cawe-cawe politiknya menuju 2024.
Bahkan, jika terjadi dalam beberapa hari ke depan, penunjukan Gibran sebagai cawapres pilihan Prabowo, diperkirakan telah memakai fasilitas Mahkamah Konstitusi RI untuk mewujudkan itu. Yakni merubah batas usia Cawapres RI. Lalu untuk apa mengatas namakan ruang publik dalam melarang kandidat politik yang bersebrangan dengan pemerintah?
Pentingnya Spirit Sukarno Muda
Change Indonesia, sebagai kumpulan aktifis pro demokrasi sepanjang 90-an dan 2000an, adalah bagian dari sejarah dalam menegakkan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Pilihan tempat Gedung Indonesia Menggugat tentunya sangat penting untuk berdiskusi, baik bersama Anies maupun tidak.
Yang penting mereka datang untuk merenung, bukan untuk joget-joget musik Rungkat maupun Ojo Dibandingke, seperti penggunaan istana milik negara beberap waktu lalu. Merenung soal Sukarno dan Indonesia Menggugat tentu akan menjawab pikiran Rahmawati Soekarnoputri dalam bukunya “Using Soekarno to kill Soekarnoisme”.
Ketika Soekarno diadili di Lanraad (sekarang GIM), dia masih berumur 29 tahun. Dalam pledoi pembelaannya “Indonesia Menggugat”, yang saya bedah dalam buku saya ” Menggugat Indonesia Menggugat “, 2022, yang saya tulis di penjara, banyak sekali pikiran Bung Karno yang perlu digali dan direvitalisasi untuk keperluannya visi Indonesia ke depan.
Dalam tulisan saya ” Mengenang Ideologi Soekarno Muda”, RM Online, 30/5/21, yang saya kirim dari penjara bawah tanah Bareskrim ke Teguh Santosa, pimpinan media RMOL, banyak hal yang bisa diteladani dari pikiran Bung Karno muda, salah satunya yang terpenting adalah pledoi Indonesia Menggugat.
Pledoi tersebut mengisahkan perlawanan Bung Karno kepada kolonial, menjelaskan pikiran Bung Karno untuk merdeka dan menjelaskan cita-cita partainya PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Perlawanan Bung Karno terhadap kolonial sendiri ada dua hal, pertama anti imperialisme barat dan kedua anti penjajahan asing.
Imperialisme menurut dia bersifat dua, imperialisme tua dan muda. Yang tua markentilisme, ketika negara bersama VOC mengeruk harta sumber daya alam kita dan era Kultur stelsel, yang imperialisme muda di era “Open Policy”, ketika Belanda membuka investasi asing bebas (liberalisasi modal). Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU Agraria (Agrarische Wet) dan UU Perkebunan Gula (Suiker Wet) tahun 1870.
Imperialisme itu baik tua dan muda telah mengeruk seluruh harta bumi kita dan 70% di bawa ke Belanda. Menjadikan Indonesia sebagai pasar kelebihan produk asing. Dan kaum buruh kita menurut Bung Karno hanya memperoleh upah setara 6 kg beras perhari.
Bung Karno menolak imperialisme barat dan sekaligus menolak pemerintahan Hindia Belanda. Bung Karno meminta kebebasan dalam berorganisasi, seperti serikat buruh di tanah Belanda, selanjutnya juga meminta pemerintahan sendiri, bukan Belanda.
Dari 70 orang pemikir dan pejuang yang dirujuk Bung Karno dalam pledoi nya, Bung Karno meyakini bahwa sosialisme dapat menjadi ajaran yang membebaskan Indonesia.
Dalam hal Islamisme, Sukarno meyakini Islam dapat menjadi kekuatan bersama dalam membangun sebuah bangsa. Pledoi tersebut mengutip bahwa PNI (Partai Nasional Indonesia) adalah anti Riba. Sebuah ajaran Islam yang paling utama. Selain itu Sukarno selalu membanggakan organisasi Syarikat Islam, bentukan mertuanya HOS Tjokroaminoto, sebagai organisasi revolusioner, yang patut dicontoh.
Refleksi Atas Ajaran Bung Karno
Ajaran Bung Karno yang dapat dipetik dari “refleksi Indonesia Menggugat”, yang diselenggarakan Change Indonesia bersama Anies, beberapa hari lalu, tentunya masih banyak ajaran Bung Karno yang sangat relevan. Misalnya, Agrarische Wet dan Suiker Wet yang diberlakukan tahun 1870 sangatlah mirip dengan kebijakan agraria era Jokowi.
Pada era itu hak kelola tanah selama 75 tahun. Pada era Jokowi, 90 tahun. Sukarno sendiri marah dengan pemberian hak selama itu, sehingga pada era berkuasa, Sukarno membuat UU Pokok Agraria membatasi hak kelola hanya selama 25 tahun.
Kemudian, penjelasan Bung Karno tentang kemiskinan kaum Marhaen, dengan upah sebesar 6 kg beras ternyata tidak berubah banyak. Bahkan, menurut Jumhur Hidayat, ketua Serikat Buruh SPSI, banyak daerah-daerah yang buruhnya masih jauh di bawah upah 6 kg beras tersebut. Meskipun, secara umum saat ini sudah berkisar 7 kg beras.
Artinya, imperialisme saat ini semakin buruk saja. Dulu tidak ada yang kaya raya kecuali kaum kulit putih. Sekarang oligarki kaya raya, rakyat tetap miskin. Imperialisme datang bukan saja dari barat, tapi juga dari timur alias China.
Tentu banyak sekali refleksi lainnya yang dapat dilakukan oleh kaum aktifis dan Anies di Gedung Indonesia Menggugat. Apalagi merenungkan seorang pemuda beristri, seperti Bung Karno, mengambil resiko masuk penjara demi menyelamatkan bangsanya. Jika refleksi ini menjadi milik satu golongan saja, betapa sedihnya ruh Bung Karno di alam lain itu.
Penutup
Ajaran Bung Karno, khususnya Bung Karno Muda, begitu banyak faedahnya untuk dipelajari anak anak bangsa ini. Anies Baswedan tidak menghadiri jalan santai ratusan ribu massa di Malang, pada saat dia memutuskan datang ke Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Minggu 8/10/23 lalu.
Membiarkan Muhaimin sendiri ke Malang. Anies ingin berdiskusi dengan kaum aktifis di GIM, maksudnya adalah refleksi, mencari spirit kejuangan dalam perjuangan bangsa. Sebelumnya, Anies bertemu “Ngariung 1000 alumni ITB”, tukar pikiran untuk masa depan Indonesia berbasis sains dan teknologi.
Sayang sekali langkah Anies dan Change Indonesia itu dihadang pemerintah. Alasannya tidak masuk akal dengan alasan pemerintah tidak mengizinkan pemakaian ruang publik. Pada saat bersamaan Kaesang menggunakan Gedung Olahraga Arcamanik milik pemerintah.
Apalagi jika melihat Jokowi menggunakan istana dan fasilitas negara untuk cawe-cawe politik 2024. Namun, rakyat sudah melihat Anies sangat peduli dengan sejarah bangsa kita. Dia ingin menggali spirit Soekarno muda. Biarkanlah rakyat menilai siapa pemimpin yang pro rakyat, bukan penipu rakyat.
[***]