Artikel Ini Ditulis Oleh Peneliti Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra.
CARA mengetahui naik turunnya yield surat utang Indonesia bukan dengan membandingkan dengan dirinya sendiri di masa lalu, tetapi dengan membandingkannya dengan yield surat utang negara lain yang memiliki peringkat surat utang yang sama.
Bila Indonesia bisa membayar yield lebih murah secara relatif dibandingkan dengan yield yang dibayarkan negara lain, itu baru bisa dibanggakan.
Tapi kan kenyataannya berbeda. Sebagai contoh dengan Filipina (BBB) dan Vietnam (BB-), yang adalah negara-negara di ASEAN yang relatif setara atau bahkan lebih rendah peringkat surat utangnya dibandingkan Indonesia (BBB).
Berdasarkan “yield spread“, atau selisih yield antara surat utang (tenor 10 tahun) Indonesia-Vietnam dan Indonesia-Filipina, nilainya terus meningkat (dapat dilihat di grafik).
Dengan Filipina “yield spread” naik dari 1,65% di Januari 2019 menjadi 3,47% di November 2020. Begitupun dengan Vietnam, “yield spread” juga naik dari 3,1% di Januari 2019 menjadi 4,4% di Oktober 2020.
Artinya, dengan Filipina dan Vietnam yang seharusnya Indonesia bisa memberikan yield sama atau lebih murah, faktanya Indonesia harus memberikan yield lebih mahal dari kedua negara tersebut dengan selisihnya atau spread yang terus meningkat.
Cara mengetahui apakah APBN kita harus berutang untuk melunasi bunga utang adalah dengan melihat keseimbangan primer (primary balance). Bila angka keseimbangan primer mengalami defisit, artinya kita sudah terpaksa membuat utang baru hanya agar dapat melunasi bunga utang lama.
Faktanya keseimbangan primer kita sudah defisit, dan nilai semakin besar. Per Juni 2020 saja keseimbangan primer sudah defisit Rp 700 triliun.
Rasio beban bunga terhadap penerimaan juga semakin tinggi, ini menunjukkan ketahanan fiskal yang semakin rapuh. Per saat ini rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak sudah mencapai 26%, dari yang biasanya di bawah 15% sepanjang 10 tahun terakhir.
Tax ratio terus menurun (7,8%) bukan saja karena pandemi, penurunan ini sudah terjadi bahkan semenjak dilaksanakannya tax amnesty tahun 2016-2017 (lihat grafik).
Terakhir, pada era Pandemi ini seharusnya yang Indonesia minta dari negara-negara maju adalah pengurangan utang (debt relief) bukannya menambah utang baru.
Banyak lembaga dunia (IMF, WB, G-20) yang memberikan fasilitas ini dan banyak negara yang sudah memanfaatkan fasilitas pengurangan utang (debt relief) ini.
Tapi mungkin karena Indonesia punya menteri terbaik sedunia, makanya jalur yang dipilih sama sekali tidak umum, bukannya mengurangi utang malah minta utang baru. Artinya memang benar yang disampaikan begawan ekonomi kerakyatan Rizal Ramli, Indonesia memang pengemis utang.
[***]