INDONESIA dilanda euforia. Pekan silam Lembaga rating Standard & Poors menaikkan peringkat negeri ini menjadi kategori investment grade (BBB-). Indonesia bersorak. Indonesia bersuka-cita.
Layaknya sebuah piala, tentu ada juara yang menerimanya. Sang juara pun kebanjiran pujian. Dan, pada titik ini, sang aktor yang diguyur puja-puji adalah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI). Ani, begitu perempuan ini biasa disapa, dianggap sebagai tokoh di balik sukses kenaikan rating yang diraih Indonesia.
Konon, sukses naiknya peringkat Indonesia itu disebabkan manajemen APBN mengalami perbaikan signifikan. Kepada wartawan Ani sendiri berpendapat, pemotongan anggaran dan naiknya penerimaan pajak menjadi kata kunci terdongkraknya peringkat Indonesia.
Pertanyaannya, benarkah demikian? Yuk kita bedah. Soal pemotongan anggaran, misalnya. Sejak parkir menjadi Menkeu pada Juli 2016, sampai Oktober 2016 (hanya dalam tempo tiga bulan), dia sudah memotong anggaran di APBN 2016 sebesar Rp 133,8 triliun. Dalam penjelasannya kepada pers dia mengatakan, pemotongan anggaran dilakukan karena kemungkinan penerimaan negara dari sisi pajak bakal kurang sekitar Rp 219 triliun.
Kacamata kuda neolib
Kebijakan Sri yang memangkas anggaran adalah bukti nyata bagaimana dia bagitu setia dengan kacamata kuda neolibnya. Padahal, pemotongan anggaran hanya bagus di mata internasional (baca: World Bank ,IMF, ADB, dan para konconya). Kenapa? Karena dengan memotong anggaran nilai aset di dalam negeri bakal stagnan, bahkan bisa turun. Nah saat itulah investor getol belanja aset di sini.
Pemotongan anggaran juga memberikan ruang fiskal lebih luas kepada APBN. Kelonggaran ini dimanfaatkan untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri. Tentu saja, para bond holder bersorak-sorai karenanya. Apalagi Ani memang sangat dikenal sebagai Menkeu yang rajin mengobral bunga supertinggi kepada para kreditor untuk tiap obligasi yang diterbitkan negeri ini.
Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) punya catatan bagus tentang mahalnya bunga obligasi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia. Kendati berada di peringkat ke empat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia, di bawah Ani Indonesia harus membayar bunga jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Tragis dan ironisnya lagi, mahalnya bunga itu tetap terjadi walau dibandingkan dengan negara yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah ketimbang kita.
Data di bawah ini bercerita dengan sangat fasih tentang betapa mahalnya bunga obligasi kita:
1. Indonesia, pertumbuhan ekonomi: 5,04%; yield (1th): 6.17%; yield (10 th): 7,08%
2. Malaysia, pertumbuhan ekonomi: 4,5%; yield (1th): 3,3%; yield (10 th): 4,1%
3. Filipina, pertumbuhan ekonomi: 6,8%%; yield(1th): 2,9%; yield (10 th): 5,4%
4. Vietnam, pertumbuhan ekonomi: 6,2%%; yield(1th): 3,9%%; yield (10 th): 5,76%
5. Singapura, pertumbuhan ekonomi: 1,8%; yield(1th): 0,97%; yield (10 th): 2,1%
6. Thailand, pertumbuhan ekonomi: 3,2%; yield(1th): 1,57%; yield (10 th): 2,6%
7. Korea Selatan, pertumbuhan ekonomi: 2,3%; yield(1th): 1,5%; yield (10 th): 2,2%
8. Tiongkok, pertumbuhan ekonomi: 6,7%; yield(1th): 3,1%; yield (10 th): 3,4%
9. Taiwan, pertumbuhan ekonomi: 1,4%; yield(1th): 1,5%; yield (10 th): 2,08%
10. Hongkong, pertumbuhan ekonomi: 1,9%; yield(1th): 0,6%; yield (10 th): 1,42%
Masih soal pemotongan anggaran, mari kita telisik anggaran apa sajakah yang dipangkas. Yup, benar. Gunting tajam anggaran memotong berbagai alokasi dana untuk pembangunan dan subsidi sosial. Berbagai subsidi langsung dikurangi atau bahkan dihapuskan. Dampaknya, beban rakyat kian berat dan mencekik leher. BBM naik, listrik naik, gas naik. Begitulah.
Di mata kaum neolib, subsidi adalah pendistorsi ekonomi. Subsidi dalam barang haram yang amat tabu diterapkan. Karenanya subsidi harus ditekan serendah mungkin, jika bisa mencapai titik nol. Singkirkan jauh-jauh tangan pemerintah dari kegiatan ekonomi. Serahkan saja segala sesuatunya pada mekanisme pasar. Biarkan pasar yang kelak akan mencari ekuilibriumnya sendiri. Kalau karena doktrin ini rakyat terkapar, itu adalah risiko yang harus dibayar. Titik!
Pertanyaan berikutnya, kenapa harus rakyat yang dijadikan korban? Mengapa yang dipangkas bukan anggaran untuk membayar bunga dan pokok utang? Sampai berapa lama APBN harus menggelontorkan duit sekitar Rp 60 triliun per tahun untuk membayar bunga obligasi Bantuan Likuidtas Bank Indonesia (BLBI) akibat bank-bank dirampok para pemiliknya sendiri?
Sekarang bandingkan dengan alokasi duit yang disiapkan untuk membayar utang di APBN 2016 dan 2017. Pada APBN 2017, ada Rp 221 triliun untuk membayar utang! Dahsyat kan? Sisanya untuk membiayai belanja rutin pemerintah yang terus saja menggembung. Padahal untuk itu, rakyat diperas dengan kenaikan harga berbagai barang dan jasa kebutuhan dasar serta pajak yang kian mencekik.
Pemotongan anggaran pada APBN pastinya bakal mempersempit ruang gerak perekonomian Indonesia ke depan. Akibatnya banyak program pembangunan infrastruktur yang mangkrak. Salah satu yang hampir pasti akan mangkrak adalah program andalan Presiden Jokowi, membangun Poros Maritim.
Sejatinya, kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) yang Ani lakukan senafas dengan kebijakan Bank Dunia di negeri-negeri yang sedang krisis di Eropa Barat. Hasilnya justru memperburuk situasi ekonomi dalam negeri mereka. Tapi begitulah mazhab neolib. Tidak peduli rakyat di dalam negeri berdarah-darah, yang penting para majikan asing tetap happy.
Mitos tax amnesty
Barat dan media mainstream sukses mem-framing Ani sebagai tokoh di balik terdongkraknya penerimaan pajak. Lewat program ini dia dinilai bmenjaring duit orang kaya Indonesia. Benarkah demikian?
Realisasi penerimaan perpajakan 2016, penerimaan pajak nonmigas hanya Rp 997,9 triliun. Artinya, turun 4,9% dibandingkan dengan realisasi penerimaan 2015 yang Rp 1.061 triliun. Angka kekurangan ini makin mengerikan jika merujuk pada target yang dipatok, yaitu yang sebesar Rp 1.355 triliun. Ini berarti dia hanya mampu meraih 81,5% dari target.
Memang, secara total sampai akhir 2016 pajak yang berhasil ditangguk mencapai Rp 1.105 triliun. Tapi jangan lupa, angka itu diperoleh setelah menjaring Rp 107 trilun dari pengampunan pajak. Tanpa tax amnesty, penerimaan pajak ya jeblok, lah!Bahkan setelah ditambah dengan pengampunan pajak, penerimaan negara tetap saja jauh di bawah banderol yang Rp 1.355 triliun tadi.
Namun bicara soal pengampunan pajak, ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, tax amnesty bukanlah karya Ani. Iabuah gagasan dari Menkeu sebelumnya, Bambang Brojonegoro. Jadi, kalau mau menghadiahi pujian seputar program tax amnesty, yang paling tepat alamatkanlah kepada Bambang kini menjadi Menteri BPN/Kepala Bapennas.
Kedua, di tataran eksekusi, program pengampunan pajak bisa disebut gagal total. Paling tidak, para ekonom yang tergabung dalam kelompok think tank INDEF sudah menghadiahi rapor merah untuk perkara ini.
Program Kemenkeu yang berpayung hukum UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ini ternyata gagal mengemban sejumlah tugas yang diamanatkan. Antara lain, aset repatriasi yang diperoleh dari program tax amnesty nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas, nilai tukar, suku bunga, dan investasi.
Gagal lainnya, dari sisi objek pajak, tax amnesty cuma berhasil menjaring 50.385 wajib pajak baru alias 0,15% dari wajib pajak potensial 2016. Program ini pun bisa disebut sepi peminat. Pasalnya, sampai batas waktu berakhir hanya 995.983 wajib pajak yang ikut. Angka ini hanya 2,95% total wajib pajak yang terdaftar pada 2016.
Pengampunan pajak juga hanya bisa menggaet penerimaan sebesar Rp107 triliun. Padahal, sejak awal pemerintah sesumbar bakal menangguk penerimaan Rp 165 triliun. Artinya, Ani dan jajarannya mentok di angka 64,8%. Satu lagi, ini yang terburuk, dari Rp 1.000 triliun dana repatriasi yang ditargetkan, realaisasinya cuma Rp 144,78 triliun atawa hanya 14,4%.
Berdasar serenceng fakta tadi, apa yang bisa disimpulkan dari sosok Ani? Dia hanya hebat di media. Kehebatannya cuma mitos hasil kolaborasi kepentingan asing dan media yang entah apa motivasinya. Sebagai Menkeu, dia juga terbukti sukses menggembirakan para majikan asingnya. Persoalan rakyat di dalam negeri kian termehek-mehek dihimpit beban hidup yang makin berat, itu perkara lain lagi.
Jadi, rating boleh saja naik. Faktanya APBN tetap saja jeblok. Dan, nasib sebagian besar rakyat tetap saja terabaikan.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)