Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute dan Ekonom UPN Veteran Jakarta.
Pemerintah saat ini sedang bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk terkait darurat harga dan stok beras. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah telah mempercepat impor beras dan meningkatkan penyaluran beras ke pasar serta kepada keluarga-keluarga yang tidak mampu. Selain itu, Gerakan Nasional Penanganan Dampak El Nino juga telah digulirkan.
Situasi ini seharusnya sebagai bangsa kita jadikan sebuah alarm perubahan. Mengandalkan impor sebagai solusi jangka pendek mungkin dapat menyelesaikan masalah ketersediaan beras saat ini, namun bukan solusi jangka panjang.
Kemandirian pangan harus menjadi prioritas utama, dan ini berarti investasi besar-besaran dalam penelitian, pengembangan, dan pendidikan pertanian. Memanfaatkan teknologi terbaru, mengembangkan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, dan mendidik petani dengan metode pertanian yang lebih berkelanjutan dan efisien menjadi penting.
Salah satu langkah strategis yang perlu ditempuh adalah diversifikasi sumber karbohidrat. Selain beras, Indonesia kaya akan sumber karbohidrat lain seperti singkong, jagung, sagu, dan tapioka.
Pemanfaatan sumber-sumber karbohidrat ini tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada beras, tetapi juga memperkaya variasi konsumsi masyarakat, meningkatkan ketahanan pangan, dan memberikan peluang ekonomi baru bagi petani.
Darurat beras ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali kebijakan pangan nasional dan memastikan bahwa fokus tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan saat ini, tetapi juga mempersiapkan masa depan yang lebih berkelanjutan dan mandiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis pangan seperti ini menunjukkan kerentanan sistem pangan. Meskipun Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas dan potensial, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Peningkatan ketergantungan pada impor menunjukkan bahwa ada celah dalam sistem produksi dan distribusi pangan.
Sebagai negara agraris, seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain.
Selain itu, perubahan iklim yang semakin ekstrem menuntut adaptasi dan inovasi. Penerapan teknologi pertanian modern, seperti hidroponik dan aeroponik, dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas tanpa tergantung pada kondisi cuaca. Sementara itu, pendidikan pertanian yang diberikan kepada generasi muda harus relevan dengan tantangan zaman, sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan dalam industri pangan.
Kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas petani menjadi penting. Dengan kolaborasi yang kuat, dapat menciptakan strategi jangka panjang yang tidak hanya menangani krisis saat ini, tetapi juga mencegah krisis serupa di masa depan. Kesadaran kolektif tentang pentingnya kemandirian pangan dan diversifikasi sumber makanan harus terus ditanamkan dalam setiap lapisan masyarakat.
[***]