MENELUSURI niat baik dari sosok pengambil keputusan dan kebijakan untuk kesejahteraan bumi pertiwi, yaitu Indonesia. Kerja sama bilateral yang dilakukan Indonesia dengan negara Tirai Bambu merupakan suatu kebaikan yang perlu didukung agar bisa menyejahterakan negara kita.
Harapan itu masih ada, namun fakta di lapangan yang terjadi apakah di balik kerja sama itu terselip kepentingan dari beberapa pihak terkait ? Menolak lupa adalah sikap yang mesti di ambil dalam hal ini. Jika tidak, kemungkinan akan banyak kesepakatan yang di ambil bukan karena kebutuhan tapi kepentingan.
Melihat bunga rampai Indonesia dalam 2014 tentang kesepakatan bilateral yaitu Pemerintah Indonesia dipastikan bakal menguatkan hubungan bilateralnya dengan pemerintah China menyusul hasil kunjungan Presiden Joko Widodo ke Beijing, Kamis 26 Maret 2014.
Pembahasan dalam kunjungan kenegaraan Jokowi yang diterima langsung Presiden Republik Rakyat China (RRC) Xi Jinping dikala itu, pembicaraan yang masif mengenai penguatan kerjasama di bidang ekonomi khususnya sektor perdagangan, keuangan, infrastruktur, perindustrian, pariwisata, maritim, hingga hubungan antar masyarakat.
Suatu hal pasti ternyata negara kita merupakan negara sosial, dengan banyaknya bentuk kerja sama dengan beberapa negara terkhusus negara China. Hal ini menguat ketika Presiden Joko Widodo hari, Senin 27 Juli 2015 di Jakarta menerima delegasi Parlemen China yang dipimpin ketuanya, Yu Zhengseng.
Yang sebelumnya juga sudah bertemu dengan ketua DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia berharap China meningkatkan nilai investasinya. Kesepakatan kali ini khususnya di bidang pembangunan infrastruktur, energi dan pariwisata. Pada 2015, nilai investasi RRT di Indonesia mencapai 160,2 juta dolar AS.
Ternyata berbicara tentang peluang, negara kita Indonesia sangat terfokus pada kerja sama dan investasi. Bukan hanya China, negara yang terkenal dengan matahari terbit yaitu Jepang pun menjadi target dan sasaran Indonesia dalam menjalin kolaborasi bilateralnya.
Dalam kunjungan ke Jepang, Presiden Jokowi menegaskan, ia ingin menarik investasi dari Jepang, terutama dalam bidang pembangkit listrik, pembangunan pelabuhan, konstruksi jalan dan pembangunan kawasan industri. Jepang menawarkan pinjaman lunak senilai 140 miliar Yen, atau sekitar 1,17 miliar Dolar AS, untuk pembangunan sistem transportasi massal di Jakarta.
Sebelum bertolak menuju Jepang dan China, Jokowi menerangkan bahwa kedua negara tersebut termasuk investor terbesar di Indonesia, yang masih punya potensi meningkatkan lagi jumlah investasinya. Sedangkan Jepang adalah pasar ekspor terbesar Indonesia.
Hal paling di sorot pada tahun 2016 tentang kerja sama Indonesia dan China saat ini adalah proyek kerja sama antara Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan China yaitu pembangunan high speed train (HST) atau kereta super cepat Jakarta-Bandung dengan jarak 140 Km.
Janji manis yang tertuang dalam nawa cita Jokowi-JK ketika kampanye yang ingin menjadikan negara Indonesia fokus dalam maritim, ternyata tidak selaras dengan Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Rencana pembangunan high speed train (HST) ini dinilai bisa menimbulkan kecemburuan dari wilayah lain di luar pulau Jawa.
Karena yang harus kita pahami adalah Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kalau hal ini diabaikan, rasa persatuan diingkari dengan menganak emaskan Jawa apalagi Jakarta Akibatnya akan menimbulkan kecemburuan dari wilayah lain terutama yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Menariknya tawaran proyek kereta cepat China lebih di prioritaskan di bandingkan proyek kereta cepat Jepang. Ketika di lihat dari nilai investasi kereta api cepat untuk Jakarta-Bandung berdasarkan kalkulator Jepang nilainya 6,2 milyar dollar Amerika sedangkan nilai investasi kereta api cepat berdasarkan hitungan China mencapai 5,5 milyar dollar Amerika.
Berdasarkan nilai investasi, kereta api cepat China memang lebih murah dibandingkan dengan Jepang. Namun besaran nilai investasi bukanlah patokan mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia. Kalau dilihat dari pinjaman untuk biaya pembangunan kereta api cepat, bunga pinjaman China lebih tinggi 20 kali lipat dari pada bunga pinjaman dari Jepang.
Jepang memberikan pinjaman sebesar 75% dari 6,2 milyar dollar dengan tenor 40 tahun dengan bungan 0,1% pertahun. Sedangkan China memberikan pinjaman 75% dari 5,5 milyar dollar dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% pertahun. Jika kereta api cepat dibangun China, hitung-hitungan kasarnya kita harus membayar total bunga ke China selama 40 tahun sebesar 82,5 juta dollar atau 2,062,500 dollar pertahun. Sedangkan Jepang, kita membayar bunga selama 40 tahun 4,6 juta dollar atau 116,250 pertahun.
Kualitas menjadi hal penting dalam suatu barang. Ketika di bandingkan, secara kualitas kereta buatan Jepang lebih baik di bandingkan dengan kereta buatan China. Terbukti Jepang terkenal dengan kereta peluru yang legendaris shinkansen yang selama puluhan tahun telah melesat antara kota tanpa kecelakaan fatal tunggal. Sementara standar keselamatan kereta cepat buatan China perlu jadi pertimbangan.
Sebuah kecelakaan kereta cepat pada 2011 telah menewaskan sedikitnya 40 orang dan melukai sekitar 200 orang. Apakah pemerintah tidak belajar dari proyek pengadaan bus TransJakarta yang bus-nya mengambil dari China? Bahkan belum genap 5 tahun, banyak bus yang sudah tidak laik jalan.
Kini Pemerintah seperti menafikkan fakta kualitas produk buatan China. Terakhir adalah urgensi dari rute Jakarta-Bandung, kenapa hanya sampai Bandung yang notabenenya jalur darat menuju kota Bandung sudah banyak yang mudah di akses.
Pemerintah seharusnya fokus pada rencana pemerataan pembangunan infastruktur di Indonesia. Keputusan untuk membangun kereta super cepat Jakarta-Bandung disebut proyek yang menurut saya tidak terlalu penting. Bukan hanya membangun kereta api dan pelabuhan-pelabuhan besar tetapi juga dermaga untuk berlabuh serta menyediakan perahu-perahu besar dan kecil agar mereka tinggal di pulau-pulau kecil atau perairan dapat melakukan mobilitas geografis dengan lancar.
Masih banyak hal yang mesti di prioritaskan dari uang negara di bandingkan harus membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Jangan sampai hanya karena kepentingan sepihak, rakyat Indonesia di rugikan atas penggunaan anggaran dana yang tidak tepat sasaran.
Oleh Rizky Fajrianto, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ)