KedaiPena.Com – Bagi rakyat Jakarta yang terlatih berpikir kritis dan eklektis (memilih yang terbaik dari berbagai sumber), pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lainnya di Indonesia, sebenarnya bukanlah masalah serius dan merisaukan.
Sebab, ketika ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta saat masa revolusi fisik tahun 1947-1948, rakyat Jakarta rela-rela saja.
Begitu juga saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948-1949 dibentuk di Bukittinggi, rakyat Jakarta pun rela-rela saja.
Kini, ibu kota negara dipindahkan lagi dari Jakarta ke Nusantara di Penajam Passer Utara, Kaltim.
Hal itu membuat rakyat Jakarta pun aktif menilai dalam diam: apakah pemindahan itu dapat bermanfaat dan menjamin keadilan bagi rakyat Indonesia yang tinggal di Kaltim dan kota-kota lainnya di Indonesia, atau cuma menguntungkan segelintir oligark semata.
Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nasional (Jaranan) yang juga pegiat Klub Literasi Progresif (KLiP) menyinggung hal itu pada kegiatan Sosialisasi Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, di Jelambar Jakbar, Senin (30/1/2023).
Kegiatan itu dihadiri anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E, Yuda Permana, dan sekitar seratus peserta lainnya dari kalangan Generasi Z dan Generasi Milenial.
Menurut Nanang, bila di masa revolusi fisik dan PDRI dulu, rakyat Jakarta bersikap rela-rela saja Ibu kota negaranya dipindah. Hal itu karena memang rakyat Jakarta paham bahwa kondisinya memang sedang genting bagi pemerintahan dan rakyat saat itu yang sedang menghadapi agresi penjajah Belanda saat itu.
“Namun saat ini, yang dirasakan rakyat Jakarta, pemindahan ibu kota negara ke Kaltim, terkesan sangat aneh, janggal, dan cuma bakal menguntungkan segelintir oligark semata. Meskipun pemerintahan, yang terus saja kian melemah di hadapan oligark dan merasa digdaya hadapan rakyat kecil, aktif memjelaskan seakan semua daerah akan kebagian llimpahan keadilan dan kesejahteraan,” katanya.
Padahal, yang terjadi tidaklah demikian. Para oligark super kaya yang akan mengambil keuntungan besar proses pemindahan IKN ke Kaltim , sementara rakyat kecil tidaklah kebagian.
Dan semua proses pembangunan IKN itu, lanjut Nanang, tidak bisa lepas dari perhatian rakyat Jakarta yang kritis itu, yang sejak awal sudah terwariskan watak inklusif, reseptif, multikulturalis dan kosmopolitanisme, yang merupakan buah dari kebudayaan Betawi. Terlepas dari etnis dan agama manapun ia berasal.
Rakyat Jakarta sebenarnya sudah tidak butuh lagi bahwa wilayahnya itu harus menjadi ibu kota negara atau tidak. Sebab mereka melihat bahwa persoalan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan masalah laten sekaligus manifes selama ini di republik.
“Sehingga mereka pun rela ketika mengetahui ibu kota negara hendak dipindah ke Kaltim. Yang di dalam hati kecilnya mereka menghendaki agar kepindahan itu mengarah ke keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat tempat Ibu kota negara baru itu, dan juga rakyat di daerah lainnya secara lebih merata.” jelasnya.
Alih-alih untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, sejak awal proses penyusunan UU IKN saja sudah menimbulkan masalah. Sehingga banyak tokoh kritis bangsa seperti Azyumardi Azra (Alm), Busyro Muqoddas, Faisal Basri, Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Jaringan Tambang (Jatam), YLBHI, dan lain-lain yang menggugat UU IKN itu ke MK.
Namun karena permainan kekuasaan, akhirnya gugatan itu kandas.
Dan baru sepuluh bulan UU IKN diberlakukan, ternyata presiden minta agar UU IKN itu direvisi. Dalam perjalanannya, pembangunan IKN menciptakan banyak kejanggalan dan beban bagi APBN.
“Di awal-awal proses pembangunan IKN kan, Presiden Jokowi mengatakan bahwa tidak akan menggunakan uang rakyat, ta[i pakai uang investor. Ketika investornya tak kunjung datang, dana APBN yang sebenarnya uang rakyat pun dipakai. Dan investor pun dimanja dan makin konyol saja, dimana mereka dijamin bisa mendapatkan hak selama 90 tahun, malah bisa dua kali lipat 180 tahun, tetapi juga bisa beli tanah di IKN,” imbuhnya sambil senyum.
Laporan: Muhammad Rafik