KedaiPena.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, rencana penambahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen bisa diterapkan jika kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat telah stabil.
Ia mengharapkan rencana kenaikan tarif PPN sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajalan (HPP) menjadi 12 persen dari 11 persen jangan sampai mendistorsi faktor-faktor pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
“Menurut Teori Laffer, ekonomi tumbuh dulu baru tax revenue akan meningkat. Bukan tarif pajak dinaikkan maka ekonomi tumbuh,” kata Esther, dalam salah satu acara, ditulis Kamis (26/12/2024).
Ia menyatakan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 perlu dikaji dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini dan prospek ekonomi domestik. Jika setelah ditimbang, terdapat kesimpulan bahwa kenaikan PPN dirasa kurang tepat, maka pemerintah perlu realistis untuk menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dari 11 persen.
“Intinya political will dan itu bisa karena saat ini kita akui kondisi ekonomi sedang lesu dan kurang bergairah,” ujarnya.
Esther menyatakan pemerintah dapat mengkaji pengalaman Pemerintah Malaysia yang sempat menaikkan tarif PPN dan berimbas pada perekonomian negara tersebut. Alhasil, Malaysia pun menurunkan tarif PPN tersebut.
“Pemerintah Malaysia saja menaikkan tarif PPN kemudian setelah tahu dampak kenaikan tarif itu mengakibatkan volume ekspor turun, maka kemudian dievaluasi kebijakan itu dan diturunkan kembali tarif PPN seperti semula,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen mulai tahun depan. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tarif PPN 12 persen telah menjadi bagian dari UU APBN 2025, yang telah disepakati bersama anatar Pemerintah dan DPR. Apabila akan melakukan perubahan tarif PPN dalam UU APBN, maka mekanismenya adalah melalui pembahasan RAPBN Penyesuaian/Perubahan.
Pemerintah menaikkan tarif PPN utamanya untuk barang mewah yang merupakan konsumsi masyarakat kalangan atas, serta dalam waktu bersamaan pemerintah juga menetapkan kebijakan afirmatif pajak nol persen untuk sejumlah bahan pokok menjadi konsumsi kalangan masyarakat lainnya.
Laporan: Ranny Supusepa