AKHIRNYA 12 Januari 2018 pemerintah terlihat satu suara untuk impor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Setidaknya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, dan Wakil Presiden.
Tampak tidak ada lagi perbedaan data stok beras yang selama ini menjadi polemik. Presiden sendiri belum mengeluarkan sikap resmi menolak atau mendukung kebijakan yang rencananya akan dilakukan selambatnya akhir bulan Januari 2018 ini.
Kilas balik ke 3,5 tahun lalu, tepatnya pada 2 Juli 2014. Seperti diberitakan, di suatu kesempatan, calon Presiden Joko Widodo berjanji akan menghentikan kebijakan impor beras bila terpilih menjadi Presiden.
Menurut Jokowi saat itu, pemerintah harus menghentikan impor untuk memicu agar para petani lebih semangat melakukan produksi. Itulah cara memuliakan petani, menurut calon Presiden Jokowi 3,5 tahun yang lalu.
Sayang sekali. Hari ini para pembantunya di Kabinet terpaksa mementahkan janji kampanye sang Presiden untuk memuliakan petani Indonesia.
Para petani yang memilih Jokowi pada Pilpres 2014 tampak harus gigit jari karena impor akan dilakukan.
Lebih jahat lagi, impor dilakukan justru tepat pada saat para petani di seluruh Indonesia memulai panen raya (Januari-Februari-Maret). Apalagi tujuannya bila bukan untuk hancurkan tenaga dan semangat produksi kaum tani?
Lalu bila bukan petani, siapa yang dimuliakan dengan kebijakan impor beras ini?
Menurut ekonom Rizal Ramli, fee yang dapat diperoleh oleh importir beras berkisar antara USD 20-30 /ton. Jadi bila kita kalkulasi, USD 20-30 /ton dikalikan dengan 500.000 ribu ton, akan terdapat keuntungan sebesar: USD 10-15 juta atau Rp 135 – 202 miliar!
Belum lagi bila benar kabar, ternyata kontrak pembelian dilakukan sejak jauh hari, alias saat harga masih lebih rendah dari sekarang. Artinya terdapat potensi selisih margin lebih besar lagi yang diperoleh oleh importir. Kelompok pengejar rente kembali diuntungkan.
Apakah aliran dana keuntungan para pengejar rente ini masuk ke kantong pribadi pejabat atau digunakan untuk pembiayaan politik harus dibuktikan secara hukum oleh KPK dan Kepolisian. Harus diingat, pejabat tinggi yang menginisiasi kebijakan impor beras ini pernah memiliki rekam jejak KKN yang bermodus mirip sewaktu dirinya masih menjabat Menteri Perdagangan/Kepala Bulog pada Pemerintahan Gus Dur awal. Sehingga pejabat yang bersangkutan pun dicopot oleh Gus Dur. Kini menjadi Wakil Presiden.
Pola yang sedang berlangsung ini kami curiga adalah bagian dari kelompok pengejar rente untuk mengeruk keuntungan instan sekaligus menjatuhkan elektabilitas Jokowi di kalangan petani Indonesia. Sehingga isu impor beras ini akan digunakan siapapun lawan-lawan Jokowi di 2019 untuk menjatuhkan Jokowi. Jadi istilahnya, sekali tepuk dua tiga pulau terlampui!
Berbicara tentang sejarah pergerakan harga beras, sebenarnya kenaikan yang tidak terkendali ini tidak hanya terjadi saat di era Jokowi, tetapi sudah sejak awal pemerintahan SBY di akhir tahun 2004. Pada akhir pemerintahan Orde Baru Suharto, harga beras sangat rendah dan stabil di kisaran Rp 1000/kg. Krisis Finansial 1997 yang terjadi bertepatan dengan peristiwa alam El Nino mengakibatkan harga beras sempat melonjak ke Rp 3000/kg di tahun, namun kembali normal selama era Gus Dur hingga Megawati di kisaran Rp 2000/kg.
Pada era Gus Dur, terutama setelah diprakarsai oleh Kepala Bulog Rizal Ramli, Bulog saat itu sangat aktif menyerap produksi petani (terutama dalam bentuk gabah) dengan membeli langsung ke petani (bukan membeli ke tengkulak), serta mengawasi pergerakan harga beras dengan canggih. Sehingga harga beras dapat stabil dan petani tetap untung. Saat itu monopoli impor Bulog dihapus dan keran impor pangan oleh swasta dibuat terbuka dengan sistem tarif.
Namun, setelah dimulainya era SBY. Saat impor beras swasta dilarang dan monopoli Bulog dikembalikan, harga beras malah naik hingga Rp 5000/kg di Juni tahun 2008, di akhir tahun 2014 sudah Rp 8000/kg. Harga rata-rata beras kembali naik di era Jokowi, sempat menyentuh Rp 9000/kg di Juni 2015 dan per Januari 2018 ini sudah di level Rp 11.600/kg. Ini berarti terjadi kesalahan dalam sistem tata niaga beras dan menurunnya performa Bulog selama 13 tahun terakhir. Menjahati petani tapi memuliakan para pemburu rente.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan