SUATU hari di tahun ’49 beberapa waktu setelah pengakuan kedaulatan, Moshe Sarett, Menteri Luar Negeri Israel waktu itu, mengirimkan sebuah telegram yang berisi tentang pengakuan Israel atas Indonesia.
Wakil Presiden Mohammad Hatta menanggapi telegram itu dengan sikap dingin.
Hatta seperti halnya Sukarno hanya mengucapkan terimakasih tanpa sepatah kata pun berbasa-basi untuk menawarkan hubungan diplomatik.
Sarett yang merasa tak enak hati dengan sikap Hatta dan Sukarno terus merangsek dengan berterus terang bahwa Israel sangat ingin membina hubungan diplomatik dengan Indonesia, negeri besar dan kaya sumber daya alam yang para pemimpinnya ketika itu dikenal luas dalam percaturan dunia, termasuk di kalangan para pemimpin Arab.
Menanggapi ini Hatta malah dengan ketus menyarankan supaya Israel menunda keinginannya itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Waktu Bung Karno memprakarsai Konferensi Asia Afrika, tahun ‘55, India dan Srilanka minta supaya Israel diundang, Sukarno menolak dengan mengatakan kehadiran Israel akan menyinggung perasaan bangsa-bangsa Arab dan negara-negara lainnya yang waktu itu masih sedang berjuang memerdekakan diri.
Sukarno-Hatta konsekuen dan teguh memegang prinsip antiimperialisme-antikolonialisme, saking membela Palestina Bung Karno bahkan melarang tim sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia di Swedia tahun ’58.
Waktu itu tim Indonesia sudah lolos di berbagai pertandingan tingkat Asia, dan hanya tinggal bertanding dengan Israel untuk bisa ikut.
Sebagai pemimpin Sukarno ingin menunjukkan satunya kata dengan perbuatan. Baginya kalau tim Indonesia bertanding dengan Israel sama saja artinya Indonesia mengakui eksistensi negeri zionis itu.
Sikap yang sama juga ditunjukkan waktu Indonesia jadi tuan rumah Asian Games, tahun 1962, Indonesia tidak memberikan visa kepada perwakilan Israel, sehingga walaupun para atletnya sudah lama berlatih untuk mempersiapkan diri mereka urung datang ke sini.
Sukarno malah mengatakan: ‘’Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.’’
Inilah makna dari ungkapan yang dikatakan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, sebuah pepatah Perancis ‘’i l est important d’apprendre de l’histoire’’, bahwa penting sekali untuk mempelajari sejarah.
Dalam konteks ini adalah sejarah hubungan Indonesia dengan Palestina yang sedemikian erat, dimana kita memiliki utang budi, antara lain Palestina (bersama dengan Mesir) adalah merupakan negara yang pertama-tama mengakui dan mendukung kemerdekaan Indonesia pada 1945. Bukan semata-mata karena Indonesia negeri Muslim dengan jumlah penduduk terbesar tetapi juga oleh karena adanya perasaan senasib sebagai bangsa yang mengalami penjajahan, yang melawan imperialisme dan kolonialisme.
The past always actually, bahkan hingga kini. Jika Palestina masih berjuang melawan kolonialis-imperialis zionis, negeri ini hari ini pun masih harus membebaskan diri dari neoliberalisme, sebuah faham perekonomian sesat yang menindas rakyat karena memihak kepada kepentingan asing dan aseng, yang merupakan pintu masuk bagi penjajahan baru yang sebenar-benarnya.
Oleh: Arief Gunawan, Wartawan Senior