Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Ide Cak Imin membangun 40 kota setara Jakarta banyak menyeruakkan narasi kemustahilan. Capres AB pun kemudian menekankan 40 kota itu rekonstruksi (pembangunan kembali) kota yang sudah ada. Upgrading kota. Begitulah singkatnya.
Keduanya paradoks. Kenapa?
Isu itu mencuat dalam debat Cawapres. Cak Imin bertanya pada Gibran, prioritas mana antara pembangunan SDM dan infrastruktur. Arah pertanyaan itu utk dekonstruksi program IKN.
Gibran mejawab, “tidak bisa dikotomistis, SDM atau infrasktuktur”. Harus diukur skala prioritas.
Cak Imin membuat kontra narasi. Proyek IKN merupakan anti tesa dari spirit prioritas. Merupakan pemborosan karena bukan prioritas.
Gibran menyodorkan narasi baliknya. Bahwa IKN bertujuan mengurai beragam kendala percepatan pembangunan.
Pertama, untuk pemerataan. Pergeseran Ibu Kota ini agar pendulum pembangunan menjadi tersebar. Perputaran uang tidak terfokus dalam jumlah besar di Jakarta.
Kedua, mengurai cara pandang Jawa centrisme. Bahwa pembangunan selama ini terkonsentrasi di Jawa. Membuat masyarakat non Jawa merasa dianaktirikan.
Perasaan itu menjadi penghalang kekompakan nasional dalam pembangunan. Perasaan itu diurai melalui pembangunan Ibukota di luar Jawa. Posisinya di tengah-tengah Indonesia.
Jadi pembangunan IKN merupakan perpaduan antara spirit pemerataan dan strategi mengurai perasaan penganaktirian pembangunan.
Ada aspek material. Ada aspek spiritual.
Seperti tak mau kalah, Cak Imin membuat Ide 40 kota. Pada lain kesempatan AB menimpali tentang programnya dalam upgrading kota yang sudah ada daripada IKN.
Cak Imin dan AB lupa atas narasi skala prioritas program sebagai kontra narasi pembangunan IKN. Lupa akan pijakan narasinya. Ialah “skala prioritas”.
Apakah pembangunan kembali 40 kota itu juga merupakan skala prioritas. Apa itu berada di top list yang bisa mendongkrak kemajuan pembangunan?. Apa ide asal bangun saja.
Apa solusi percepatan pembangunan itu dengan membangun kembali 40 kota. Atau membangun pusat-pusat pendongkrak pertumbuhan wilayah.
Jika pilihan kedua, bisa dari kota yang sudah ada. Bisa dari kota baru.
Disinilah paradoksnya. Menyodorkan narasi skala prioritas sebagai parameter. Tapi gagasan pembangunan 40 kota juga debatable dari ukuran prirotas pendongkrak kemajuan.
ARS, 2 Januari 2023
[***]