Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Jauh sebelum IKN. Saya terlibat diskusi dengan aktivis mahasiswa Balikpapan. Aktivis-aktivis itu kini tidak lagi muncul dalam scanning memori saya. Sudah lupa siapa mereka. Wajah, nama, universitas. Sudah lupa.
Hanya sisa-sisa gagasan saja masih terngiang. Mereka aktivis HMI. Tiga orang. Itu yang saya ingat. “Ekonomi Batrei”, itulah statemen mereka. Ketika ngobrol di tepian sungai Mahakam. Di Samarinda. Di sela-sela saya menjalanan pekerjaan di Ibukota Provinsi Kaltim itu. Tanggal, bulan?. Juga sudah lupa. Mungkin 2012. Jauh sebelum IKN diwacanakan. Tepatnya sudah lupa.
Satu lagi. Saya ingat sungai kecoklatan. Jika dilihat dari lantai atas kamar hotel, bentuknya seperti naga meliuk. Kapal-kapal kecil lalu lalang. Di tepi-tepi sungai. Ditengahnya ada bangunan flat mengapung. Memuat butiran-butiran hitam menggunung. Tongkang. Memuat Batubara.
Pada satu kesempatan. Diluar sesi obrolan dengan ketiga ativis itu. Saya tanyakan kapan sungai Mahakam airnya kecoklatan. Sejak ada aktivitas tambang. Atau kapan. Saya tanyakan itu pada Pak Syahidan. Ketua adat Dayak Paser. Jauh sebelum ketemu dengan ketiga aktivis itu. Jawabnya, “sejak saya kecil, airnya sudah coklat begitu”. “Mungkin flora Kalimantan penyebabnya”, pikir saya.
Kembali ke sesi obrolan dengan ketiga aktivis. Saya biasa menggali. Apa yang sedang bergemuruh di suatu daerah. Ketika mendatangi sebuah kota. Pertanyaan saya lontarkan ke siapa saja. Yang saya anggap bisa menjawab. Termasuk kepada ketiga aktvis itu. Menurut saya, kota mirip makhluk hidup. Punya ruh.
Sesuatu yang menggerakkan dinamika masyarakat. Falsafah, idiologi, ide-ide. Dibalik dinamika fisikal. Tumbuhnya bangunan-bangunan. Gerak gerik transformasi. Lalu lalang orang.
Gambaran singkat Kalimantan adalah “ekonomi batrei”. Kata ketiga aktivis itu. Kalimantan “menyala” oleh aktivitas eksploitasi energi. Tak terbarukan. Itulah penggerak ekonomi Kalimantan. Ketika sumber energi itu habis (ibarat batrei: soak, aus), maka matilah nyala cahaya itu.
Diskusi kala itu belum menemukan cara “menyalakan” Kalimantan ketika batrei itu soak, aus. Bahasa lain dari ketika era “sumber-sumber energi seperti Batubara sudah habis”. Tidak ada lagi alat untuk menggerakan ekonomi Kalimantan. Usaha pertanian memang digerakkan. Seperti di Kutai dan sekitarnya. Juga perkebunan sawit.
Komoditas itu tetap tidak bisa membuat daerah “menyala” sebagaimana bisnis energi. Apalagi paska panen produk perkebunan masih di Jawa.
Kalimantan akan tetap redup. Tidak bisa dinyalakan melalui sawit dan beras. Ketika “Batrei” itu bener-bener aus.
Mungkinkah IKN esensinya merupakan upaya, bahkan kompensasi. Untuk menghidupkan “batrei” yang soak itu. Jika saatnya tiba. Termasuk jika pulau Jawa dihantam “mega trust”. Atau bencana ekologi yang parah.
Problemnya IKN hanya membicarakan konsep fisik Ibukota. Pusat pemerintahan baru. Tempat baru para ASN pusat. Tempat baru kementerian, lembaga dan lembaga-lembaga tinggi negara. Belum menyentuh “menyalakan Kalimantan ketika batreinya soak”.
Setidaknya ada lima potensi menyalakan ekonomi Kalimantan. Berdasar potensi given yang dimiliki.
Pertama, menjadikan Kalimantan produsen bahan baku farmasi. Bahkan produsen produk farmasi. Sekala global. Kalimantan merupakan salah satu pusat biodiversity dunia. Film Anaconda, menggambarkan Kalimantan pusat tanaman obat-obat langka. Diincar khalayak luas. Terlepas film itu, hutan Kalimantan kaya potensi sumberdaya obat. Perlu dikembangkan sebagai pusat produksi obat-obatan global.
Kedua, menjadikan Kalimantan pusat produksi dan pengolahan Ikan Air Tawar. Kalimantan kaya ikan air tawar. Potensi ini harus dikelola. Tidak boleh diabaikan. Atau dimatikan. Kalimantan juga kaya ikan air payau dan ikan laut. Seharusnya menjadi “lumbung”, kebutuhan protein global. Protein hewani.
Ketiga, Kalimantan pusat pengembangan dan produksi komponen energi baru dan terbarukan. Khususnya solar cell. Kalimantan beda kontur dengan Jawa. Kalimantan tidak banyak tebing berdekatan. Tidak ideal dibangun sebanyak mungkin bendungan untuk listrik. Ia daerah Katulistiwa. Paparan matahari begitu intensif. Bagus untuk pengembangan listrik tenaga surya. Kalimantan memiliki wilayah yang luas. Kebutuhan komponen solar cell sangat besar. Tidak efisien harus selalu mendatangkan komponen dari luar. Kalimantan sendiri perlu dijadian produsen komponen industri kelistrikan berbasis tenaga surya.
Keempat, pusat industri manufaktur. Berbasis bahan baku alami Kalimantan. Industri-industri berbahan bakar Batubara, perlu didekatkan pusat produksinya di Kalimantan. Begitu pula dengan produk olahan Sawit. Beserta turunannya. Pengolahannya perlu dilakukan di Kalimantan.
Kelima, perlu dibangun pusat pendidikan skala global. Mencetak sumberdaya manusia dengan kualifikasi kebutuhan masa depan. Untuk memenui kepentingan poin 1 s.d 4 di atas.
Mungkin kelima hal itu bisa mengantisipasi redupnya ekonomi batrei Kalimatan. Sebagaimana dikhawatirkan ketiga aktivis. Dalam obrolan tepian sungai Mahakam itu.
ARS ([email protected]), Jaksel, 14-10-2024
[***]