Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi dan Alumni UGM.
Setelah sempat jeda makan siang, pada Sabtu, 16 Nopember 2024 pelaksanaan Sidang Pleno Musyawarah Nasional Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Munas Kagama) lalu dilanjutkan dengan pimpinan sidangnya, Paripurna Poerwoko Sugarda. Setelah menyampaikan kalimat pembuka, tiba-tiba meluncur pernyataan meminta kata sepakat peserta Munas Kagama agar menerima secara aklamasi Basuki Hadimuljono sebagai Ketua Umum Kagama periode 2024-2029. Tentu saja, pernyataan sekonyong-konyong ini mendapat reaksi dari sebagian peserta Munas. Sontak saja, pertanyaan substansial dan organisatorisnya adalah bagaimana sebenarnya ketentuan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) atau “konstitusi”nya mengatur tata cara pemilihan pimpinan Kagama?
Tata Tertib dan AD/ART
Sebuah organisasi apapun latar belakangnya pastilah memiliki ketentuan-ketentuan dasar dan rumah tangga untuk mengatur pengelolaannya secara berkelanjutan. Demikian pula halnya dengan Kagama sebagai sebuah organisasi para alumni yang dahulu pernah mengenyam pendidikan di UGM yang dikenal sebagai sebuah kampus ternama, berkualitas dan tertua di Indonesia. Salah satu materi krusial dan kunci dalam AD/ART yangmana merupakan koridor bagi keanggotaan organisasi alumni selain pemilihan pimpinan Pengurus Pusat (PP) dan Pengurus Daerah (Pengda), adalah kriteria anggota. Sebab, seleksi kriteria keanggotaan akan mempengaruhi tidak saja identitas dan jati diri sebuah organisasi, tapi juga berpengaruh pada hak suara anggota dalam forum tertinggi, yaitu Munas ataupun Kongres.
Pada Munas XII yang dilaksanakan di Kendari pada bulan Nopember 2014 saudara Ganjar Pranowo yang menjadi representasi kekuatan muda alumni terpilih sebagai Ketum PP Kagama menggantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Paska menjabat diperiode 2014-2019, lalu pada Munas XIII yang diselenggarakan pada 14-17 Nopember 2019 di Bali sang petahana kembali terpilih dan ditetapkan sebagai Ketum PP Kagama periode 2019-2024. Keterpilihan dan penetapan Ganjar Pranowo sebagai Ketum PP Kagama untuk kedua kalinya ini telah mendobrak konvensi pimpinan Kagama selama ini dan menjadi tradisi lazim organisasi, yaitu hanya menjabat satu periode saja.
Lalu, apa yang membuat Ganjar Pranowo terpilih dan ditetapkan sebagai Ketum PP Kagama selama dua (2) periode dan melabrak kelaziman organisasi selama ini? Tidak lain adalah adanya perubahan seleksi kriteria alumni UGM yang dapat disebut secara sah sebagai anggotanya dan memiliki hak suara. Terminologi alumni UGM yang awalnya adalah lulusan Sarjana Srata-1 (S1) diperluas menjadi termasuk lulusan S2 dan S3 dalam menampung keanggotaan. Yang lebih drastis perubahannya, adalah diabsahkannya kelompok atau komunitas berbagai kegemaran (hobby) dan atau profesi sebagai pemilik suara dalam Munas Kagama. Inilah, salah satu faktor kuat latar belakang Ganjar Pranowo terpilih dua periode sebagai Ketum PP Kagama yang melabrak konvensi melalui perubahan AD/ART.
Hal yang sama terjadi pada pelaksanaan Munas Kagama XIV 14-17 Nopember 2024 di Ancol, Jakarta Utara bahkan “pelanggaran” pun terjadi pada ketentuan tata tertib persidangan Munas. Di tengah sidang pleno, ada kejadian atau “insiden kecil” dari sebagian peserta Munas yang mengusulkan agar Basuki Hadimuljono yang telah berusia 70 tahun ditetapkan saja langsung sebagai Ketum PP Kagama periode 2024-2029 dengan alasan telah mengantongi 68 persen suara dukungan. Secara kuantitatif, alasan yang dikemukan oleh peserta Munas ini masuk akal, tapi hal ini melanggar tata tertib (tatib) persidangan yang telah mereka sepakati dan tetapkan sebelumnya. Ditengah kelogisan suara dukungan dan ketidakpatuhan pada tatib itu muncul usulan dari saudara Paripurna Poerwoko sebagai pimpinan untuk mengubahnya.
Pimpinan sidang ini berargumentasi bahwa tatib bisa diubah asal disepakati secara bersama serta kegiatan Munas ini terlaksana dengan riang gembira, guyub, rukun dan migunani. Dengan enteng pimpinan sidang menyanpaikan: “Asalkan peserta Munas menyepakati materinya, maka tatib tentulah dapat diubah sesuai keputusan bersama atau mayoritas suara”. Begitulah logika yang disampaikannya.Tanpa tedeng aling-aling serta mengabaikan AD/ART sebagai produk hukum. Dan, saat itulah beberapa peserta mengajukan interupsi untuk juga taat pada materi tatib yang sebelumnya juga telah disepakati. Saking riuhnya pendapat peserta Munas yang tak menyetujui proses aklamasi kemudian sidang pleno diskors oleh Paripurna Poerwoko. Setelah persidangan dilanjutkan, hal yang sama kembali disampaikan terkait perubahan tatib oleh sebagian peserta, bahkan dengan emosional Paripurna Poerwoko menyebut dirinya guru besar UGM dan sangat paham aturan hukum.
Pertanyaannya, jika paham materi dan aturan hukum apakah dengan mudahnya mengubah materi tatib dan AD/ART begitu saja dengan kesepakatan bersama karena mengantongi suara mayoritas? Komitmen dan konsistensi visi-misi organisasi alumni UGM dipertaruhkan di masa depan apabila hanya dengan kekuasaan dan kekuatan suara mayoritas melakukan perubahan aturan sesuka hati (at will). Kondisi ini jelas akan memicu munculnya “perlawanan” kehadiran organisasi alumni UGM baru sebagaimana yang pernah terjadi pada salah satu partai politik besar di Indonesia. Apakah keterpilihan Basuki Hadimuljono yang mantan Menteri PUPR diera pemerintahan Presiden Joko Widodo ini merupakan bentuk regenerasi atau degenerasi kepemimpinan? Oleh karena itu, para alumni UGM yang terdidik mari selamatkan visi-misi organisasi agar jangan sampai menjadi wadah komunitas kegemaran atau profesi semata!
[***]