Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
DI AKHIR tahun 1960-an penyair WS Rendra menulis satu artikel berjudul ‘’Latihan Sultan Hamengku Buwono I Di Masa Remaja’’.
Isinya tentang perjalanan hidup sang Sultan yang unik, yang sewaktu muda bernama Raden Mas Sudjono.
Di masa mudanya Sudjono gemar sekali berjalan kaki mengarungi hutan, singgah di telaga, mengembara di sepanjang pantai, mendaki bukit-bukit kapur, dan mendaki Merapi.
Meskipun ia tergolong kaum cendikia dan dari kalangan bukan orang biasa Sudjono melakukan tournee tersebut sebagai rakyat jelata.
Di dalam perjalanan-perjalanan itu ia melakukan perenungan persoalan-persoalan yang dialami oleh rakyat, sambil menyatukan diri dengan alam, dan berdialog dengan para tokoh yang didatanginya, termasuk dengan kalangan rakyat kecil di desa-desa untuk bisa menghayati pergaulan mereka yang spontan.
Karena sifatnya yang bersahaja dan dekat dengan rakyat Raden Mas Sudjono mendapat gelar Pangeran Mangkubumi yang akhirnya menjadi raja sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Di era yang sudah modern, di dalam konteks zaman yang sudah jauh berbeda, ternyata ada tokoh-tokoh muda pergerakan yang melakukan hal yang serupa. Melakukan perenungan dengan menempuh perjalanan-perjalanan untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan kebangsaan dan kerakyatan.
Soe Hok Gie misalnya menganggap menjelajahi alam dan mengarungi gunung-gunung adalah latihan untuk menebalkan rasa cinta kepada tanah air.
Sukarno di dalam masa pembuangannya merupakan pemuda yang mencintai alam, Panca Sila terinspirasi oleh alam, sehingga direnungkannya di bawah Pohon Sukun yang rindang dalam pembuangannya di Ende, Flores.
Sukarno menempuh perjalanan di Cigereleng, Bandung Selatan, dan bertemulah ia dengan seorang petani melarat bernama Marhaen. Konsepsi Sukarnoisme adalah alam dan manusia, yang disebutnya Marhaenisme.
Menyatu dengan alam, dengan rakyat kecil, dan bertukar pikiran dengan para tokoh adalah esensinya.
Rizal Ramli sebagai anak muda berusia 22 tahun pada 1976 sepulang dari menjalani beasiswa di Sophia Daigaku, Jepang, melakukan perenungan dengan melakukan perjalanan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.
Waktu itu ia merenung dan bertanya-tanya mengapa Jepang dapat menjadi negara maju, padahal miskin dengan sumber daya alam, mengapa bangsa dan negeri yang dicintainya ini yang sumber daya alamnya sangat berlimpah malah jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain.
Rizal Ramli mendatangi banyak tempat, termasuk desa nelayan miskin di Tegal, merasakan melaut mencari ikan di tengah malam bersama sang nelayan dan anaknya.
Pada tahun itu Rizal Ramli menempuh banyak perjalanan, hingga di antara perjalanannya itu tinggallah ia di Pondok Pesanten Gontor, Jawa Timur, yang merupakan lembaga pendidikan terkemuka bagi para santri dari berbagai penjuru tanah air dan mancanegara.
Sebuah pesantren dengan nama besar yang harum, dan sudah bukan cerita baru lagi bahwa pesantren ini telah melahirkan banyak tokoh besar.
Di pesantren tempat para calon intelektual Muslim menjalani pendidikan itu Rizal Ramli bertakzim, sebagai anak muda intelek Rizal Ramli mendiskusikan berbagai persoalan kerakyatan dan kebangsaan. Rizal Ramli dapat merasakan betapa besar wibawa, karomah, dan pengaruh pendiri pondok pesantren tersebut, yakni tokoh trimurti yang terdiri dari KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi.
Ia bersama sahabatnya Irzadi Mirwan mondok dan nyantri di Gontor selama berhari-hari. Ternyata manfaat dan pengaruh yang didapatkannya sangat besar, selain rasa kagumnya terhadap pondok pesantren tersebut, karena antara lain mendidik para santri untuk hidup secara mandiri dan memiliki kemampuan berorganisasi.
Sekembalinya dari Gontor dan dari tournee itu Rizal Ramli seperti mendapatkan karomah dan keyakinan yang utuh terhadap kecintaannya kepada tanah air dan bangsa.
Ia kemudian terinspirasi melakukan Gerakan Anti Kebodohan, karena pada tahun-tahun itu terdapat lebih dari delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan, persoalan-persoalan ketidakadilan, hingga persoalan KKN rezim Soeharto.
Agar persoalan-persoalan crusial tersebut membumi dan populer sehingga dapat dipahami oleh masyarakat Rizal Ramli antara lain mengajak penyair WS Rendra, sutradara Sjumandjaja, dan figur lainnya untuk berpartisipasi. Hasilnya adalah Undang-undang Wajib Belajar. Meski untuk itu Rizal Ramli kemudian dikejar-kejar oleh Soeharto dan dimasukkan ke dalam rumah tahanan militer serta penjara Sukamiskin.
WS Rendra mengapresiasinya dengan menulis sajak Sebatang Lisong, sedangkan sutradara Sjumandjaja mengekspresikannya ke dalam sebuah film berjudul Yang Muda Yang Bercinta.
Kisah hidup Rizal Ramli yang juga dekat dengan kalangan pesantren lainnya serta para kiai ini telah melahirkan integritas dan kepercayaan.
Presiden Gus Dur adalah salah seorang tokoh yang menaruh kepercayaan kepada Rizal Ramli.
Sebelum diberikan amanat memegang sejumlah jabatan penting saat Gus Dur menjadi Presiden RI, kedua tokoh ini sudah menjalin persahabatan layaknya adik dengan kakak.
Ciri utama kesamaan mereka ialah sama-sama pejuang demokrasi, pluralis yang mencintai persatuan, peduli nasib rakyat, punya selera humor tinggi, dan memiliki wawasan seni.
Rizal Ramli sudah sejak lama memiliki konspirasi hati dengan cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu. Bahkan kisah hidupnya dengan Gus Dur memiliki kemiripan. Jika Rizal Ramli yatim piatu sejak usia enam tahun, Gus Dur adalah anak yatim yang ditinggal wafat oleh sang ayah sejak usia belia.
Gus Dur kecil saat berusia 12 tahun bersama sang ayah mengalami sebuah peristiwa tragis berupa kecelakaan lalu-lintas di sebuah jalan raya Cimahi-Bandung pada tahun 1953.
Dalam kecelakaan itu sang ayah KH Wahid Hasyim, 38 tahun, Menteri Agama di Kabinet Sukarno, meninggal dunia.
Gus Dur yang selamat dari kecelakaan menyaksikan seorang diri orang yang sangat dicintainya itu meregang nyawa.
Greg Burton dalam biografi Gus Dur bercerita: kecelakaan terjadi sekitar pukul 1 siang waktu hujan yang turun membuat jalanan sangat licin. Sang sopir yang melajukan Chevrolet dengan kencang tidak berdaya mengendalikan kemudi saat mengalami slip dan menabrak sebuah truk yang sedang berhenti.
Tubrukan sedemikian keras. KH Wahid Hasyim mengalami luka berat dan tidak sadarkan diri. Celakanya, mobil ambulans yang datang dari Bandung baru tiba pukul 4 sore. Gus Dur kecil duduk di tepi jalan menunggui sang ayah tercinta sebelum mobil ambulans datang, yang akhirnya membawa mereka ke rumah sakit di Bandung.
Keesokan harinya sekitar pukul 10.30 pagi KH Wahid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Ashyari itu, tak dapat lagi bertahan, dan wafat meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam.
Karena mempunyai kesamaan ciri dengan Gus Dur dalam hal pluralisme Rizal Ramli juga sangat dekat dengan kalangan Nahdliyin.
Pernah suatu saat ketika Gus Dur menjadi Presiden RI dan Rizal Ramli duduk sebagai menterinya, kedua tokoh ini mengobrol santai sambil berseloroh mengenai hal yang ringan-ringan.
Dalam suasana rileks itu Rizal Ramli dengan gayanya yang nyeleneh meminta ‘’hadiah’’ kepada Gus Dur. Yaitu minta diberikan gelar ‘’Gus’’. Agar sebutannya menjadi Gus Rizal atau Gus Ramli.
‘’Gus’’ adalah sebutan atau gelar yang ditujukan untuk anak muda keturunan kiai di Jawa. Sebutan atau gelar ini juga bisa diartikan bukan hanya sebagai lambang keturunan kiai, tetapi juga bisa disematkan kepada seseorang yang penguasaan ilmu dan pengetahuannya sangat tinggi.
Gus Dur menanggapi santai keinginan Rizal Ramli itu, dan menganggapnya seperti permintaan seorang adik kepada kakaknya. Maklum keduanya memang sangat dekat. Sama-sama nyeleneh, bandel, dan suka kocak.
‘’Wah, kalau itu susah,’’ kata Gus Dur sambil tertawa. Gus Dur sendiri paham permintaan itu didasari oleh kecintaan Rizal Ramli kepada kaum Nahdliyin, terutama karena Rizal Ramli menaruh kepedulian terhadap nasib perekonomian kaum Nahdliyin yang tergolong berada di lapisan paling bawah di dalam masyarakat negeri ini.
Beberapa tahun kemudian, setelah Gus Dur wafat, ternyata keinginan Rizal Ramli itu terwujud. Saat menghadiri acara pertemuan Alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng di Puncak, Jawa Barat, Rizal Ramli oleh forum tersebut disapa dengan sebutan ‘’Gus’’.
Namun dengan sedikit perubahan. ‘’Nama saya diubah jadi Gus Romli,’’ kata Rizal Ramli tersenyum mengenang tokoh yang sangat dekat dengannya itu.
Pertalian sejarah yang sangat kuat antara Rizal Ramli, Gus Dur, dan kaum Nahdliyin ini tak pernah lekang, karena itulah Rizal Ramli kini mendapatkan amanah untuk menjadi Ketua Dewan Pakar Komite Khittah Nahdlatul Ulama 1926, untuk masa khidmat 2021-2026.
[***]