Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Sesungguhnya, Idul Fitri adalah hari bahagia, hari bergembira. Karena itu, pada zaman Nabi SAW, seluruh kaum muslimin keluar rumah, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda dan anak-anak, bahkan perempuan yang sedang haid pun diminta keluar untuk ikut mendengarkan Khutbah Idul Fitri dan bersedekah di hari Id.
Jika kaum wanita pada hari biasa, pada sholat lima waktu diutamakan sholat dirumah, tidak demikian dengan hari raya. Pada hari Idul Fitri, semua keluar rumah menuju tanah lapang untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia menyebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” .
(HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktikkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Ada dua pendapat dalam madzhab Syafii mengenai pelaksanaan Sholat Id. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang lebih afdal adalah di lapangan berdasarkan hadits di atas.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang lebih afdal adalah di masjid kecuali jika tempat tersebut sempit. Dua pendapat inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama Syafiiyah.
Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa penduduk Makkah melakukan shalat di masjid karena areanya yang luas. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di lapangan menunjukkan akan sempitnya masjid beliau kala itu. Jadi kalau masjid itu luas, maka shalat di masjid itu lebih afdal.” (Syarh Shahih Muslim, 6:159)
Hanya saja, jika kaum muslimin ingin mengamalkan dua pendapat tersebut, baik di Masjid maupun di tanah lapang, baik karena sempitnya masjid sehingga pergi ke tanah lapang, atau karena ada syiar Islam pada sholat Id di tanah lapang, maka Negara harus memfasilitasi keduanya. Apalagi, jika ternyata pendapat yang menginginkan sholat di tanah lapang tidaklah menghalangi bagi kaum muslimin yang ingin melaksanakan Idul Fitri didalam masjid.
Negara harus memberikan layanan, agar pelaksanaan ibadah Umat Islam di hari Id lebih khusyuk dan sejalan dengan ijtihad yang diadopsi. Negara, tidak boleh mengambil peran mengadopsi mahzab tertentu dan mengabaikan mahzab yang lain.
Lapangan sepak bola adalah fasilitas umum, bukan fasilitas pemerintah, yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk peruntukannya atau untuk kepentingan lain, sepanjang tidak menggangu fungsi asalnya. Lapangan Bola bukanlah fasilitas pemerintah, yang digunakan untuk menunaikan tugas pemerintahan seperti kantor Pemda, Kantor Pemkot, Kantor Camat, Kantor Lurah, Kementerian dan lembaga, dan fasilitas pemerintah lainnya.
Apabila pada saat hari pelaksanaan sholat Idul Fitri, lapangan bola terjadwal untuk pertandingan sepak bola, maka tidak boleh menggunakan lapangan sepak bola untuk sholat Id karena menggangu fungsi asalnya sebagai tempat bermain bola.
Apabila tidak ada jadwal permainan bola (dan umumnya memang demikian, bahkan aneh jika hari Id ada pertandingan bola), maka lapangan bola tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melarang warga masyarakat untuk menggunakannya sebagai sarana pelaksanaan sholat Id, baik dengan dalih lebih utama di masjid maupun karena alasan perbedaan hari pelaksanaannya dengan pemerintah.
Ingat! Fungsi pemerintah adalah melayani, bukan membatasi apalagi melarang masyarakat menggunakan fasilitas umum. Pemerintah tidak memiliki dasar melarang rakyat untuk mengadakan sholat Id di lapangan.
[***]