Artikel ini ditulis oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Di hari kedua Idul Fitri ini masih marak ucapan kegembiraan hari raya umat Islam: Selamat Idul Fitri 1443 H taqbbalallahu minna wa minkum mohon maaf lahir batin.
Luar biasa. Sebulan penuh berpuasa, dengan segala dinamikanya telah berakhir di hari kebahagiaan, hari kemenangan. Selesai shalat Ied sesama kerabat saling bersilaturahmi. Ketupat dan penganan lain menjadi suguhan hangat untuk silaturahmi.
Kembali ke fitrah menjadi tema hari Ied. Makna spiritualnya adalah kembali ke agama. Fa aqim wajhaka lid-diini haniifa. Begitu perintahNya. Agama yang hanif (lurus) dimaksud adalah fitrah Allah. Muslim bahagia dirangkul oleh Allah untuk kembali pada keutuhan beragama. Islam artinya menyerahkan diri ke dalam pangkuan Ilahi.
Kembali ke fitrah bukan menjalani kebiasaan buruk sebagaimana sebelum Ramadhan. Rakus, zalim atau merusak. Itu namanya bukan kembali ke fitrah tetapi kembali ke fitnah. Berlaku khianah atau lemah dalam menunaikan amanah.
Saatnya di Syawal 1443 H mengevaluasi serius apakah sudah, belum, atau baru akan kembali.
Ketika fitrah diartikan kembali kepada jalur agama, maka agama telah memberi gambaran tentang ciri dan kegembiraannya. Wabasysyiril mu’minin. Gembirakan orang yang beriman (At-Taubah: 112).
Pertama, at taaibuun. Menjadi orang yang selalu bertaubat meminta ampun kepada Allah swt. Kedua, al-aabiduun. Selalu intens beribadah apakah ibadah khusus (mahdhah) maupun umum (ghairu mahdhah).
Ketiga, al-haamiduun. Bersyukur atas banyaknya kenikmatan dari Allah swt. Keempat, as-saaihuun. Berpergian, bergerak dengan dinamika tinggi.
Kelima, ar-rookiuun as -saajiduun. Tidak pernah meninggalkan shalat. Ruku dan sujud hanya kepada Allah.
Keenam, al-aamiruuna bil ma’ruufi wa- naahuuna anil munkar. Menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman.
Ketujuh, al-haafizhuuna li huduudillah. Menjaga hak dan hukum Allah. Tidak meragukan kebenaran dan kemuliaan syariat.
Kepada Presiden Jokowi, rakyat selayaknya mengucapkan selamat Idul Fitri 1443 H. Pesan dan harapan kiranya ayat-ayat Allah dapat mengingatkan dan meluruskan langkah-langkah yang keliru. Menjadi orang yang selalu bertaubat kalau-kalau dosa telah menumpuk.
Rakyat ragu apakah Pak Presiden memiliki jabatan saat ini itu didapat dengan fair dan jujur?
Pelanggaran HAM atas terbunuhnya para pengunjuk rasa, enam laskar FPI hingga tembak mati dokter oleh Densus 88 itu haruskah Presiden Jokowi lepas dari tanggung jawab? Lalu kebijakan perundang-undangan KPK, Omnibus Law, ataupun IKN itu demi rakyat atau konglomerat? Penahanan HRS, Munarman, dan aktivis lain yang dibuat-buat itu bisakah bebas dari pertanyaan berat di akhirat?
Beribadah dan banyak bersyukurlah, Pak Presiden. Korupsi di lingkaran istana itu bukan disebabkan lapar tetapi karena rakus atau serakah.
Menjalankan amanah dua periode itu sudah cukup, jangan minta beban tambahan tiga periode. Kerja kerja atau gerak dan gerak bukan hanya slogan tapi tuntutan jabatan. Shalatkah, Bapak? Menegakkan kebenaran dan keadilankah? Menghukum orang yang melakukan tindakan kriminal atau semata kepentingan politik?
Presiden harus menjadi penjaga atas hak-hak dan hukum Allah. Tidak sedang melecehkan atau membiarkan pelecehan. Mengapa sekarang kaum Islamofobis begitu merajalela dan leluasa untuk berbuat nista di bawah rezim Jokowi bersama oligarki?
Khawatirlah bahwa orang beragama sangat kecewa atau tidak bergembira dengan kepemimpinan Pak Jokowi saat ini.
Nah Pak Jokowi, selamat Idul Fitri 1443 H, selamat makan opor dan tempe bacem dalam halal bihalal. Rakyat saja yang tidak boleh makan sesuai seruan Bapak.
Semoga Ramadhan tahun ini menjadi ruang penting untuk berpikir lebih jernih dan tulus. Tidak perlu berlari atau bertanya ke dunia lain.
Beban presiden memang berat. Kalau tak sanggup kembali ke fitrah adalah kembali menjadi rakyat biasa. Siapa tahu masih selamat. Taqabbalallahu minna wa minkum. Kullu ‘am wa antum bi khair.
Bandung, 3 Mei 2022
(###)