KedaiPena.Com – Merayakan HUT ke-66 tahun Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ratusan Dokter menggelar aksi di depan di depan Kantor Gubernur Sumut, jalan Diponegoro, Medan, Senin (24/1).
Dalam tuntutannya, para Dokter itu meyatakan penolakan program studi (prodi) Dokter Layanan Primer (DLP). Pasalnya, prodi DLP yang diterapkan terhadap para dokter bukanlah solusi untuk peningkatan pelayanan kesehatan.
“Pemerintah bukan menyasar pada fasilitas kesehatan primernya, tapi malah menyasar kepada kualitas SDM-nya. Padahal begitu mahasiswa sudah menjadi dokter, maka ia susah cakap untuk mensukseskan JKN,†kata Sekretaris Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan IDI Sumut, Dr. Khairani.
Dikatakan, bahwa dokter yang baru menyelesaikan studinya sudah dianggap mampu untuk melaksanakan 144 diagnosis Puskesmas. Yang menjadi kendala, lanjut Khairani, adalah masih banyaknya faktor yang membuat para dokter tidak bisa menuntaskan 144 diagnosis itu.
“Salah satunya ialah masih minimnya fasilitas kesehatan di tempat mereka bekerja. Sehingga lama kelamaan ilmu yang mereka miliki itu bisa tertidur dan akhirnya hilang,†katanya.
Khairani menyebutkan, IDI melihat pemerintah saat ini dalam hal program JKN, lebih condong terhadap kendali biaya daripada kendali mutu kesehatan. Jika memang untuk kendali mutu dan biaya, tegas Khairani, harusnya pemerintah bisa memperbaiki fasilitas kesehatan dan kesejahteraan para dokter. Sebab menurutnya, saat ini dokter di Indonesia seperti tidak mendapat penghargaan dari pemerintah.
“Kita menilai, saat ini dokter masih jauh dari penghargaan. Dan penghasilan dokter juga tidak lebih dari supir angkot saat ini,†ungkapnya.
Ketua Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Sumut, dr. Dedi Irawan mengatakan, Prodi DLP ini terkesan bahwa pemerintah mengkastakan kalau dokter umum itu paling rendah.
“Seolah-olah penyebab banyaknya rujukan pasien ke RS karena dokter umum tidak berkualitas. Pernah ada kasus, dimana ada pasien diabetes hanya diberi vitamin oleh dokter di layanan primer. Padahal dokter itu tahu, vitamin tersebut tidak menyembuhkan penyakit si pasien. Akan tetapi, untuk menjaga perasaan pasien, vitamin terasebut terpaksa diberikan karena cuma itu yang ada di layanan kesehatan tersebut,†jelasnya.
Hal tersebut, sambung Dedi, membuktikan kalau sarana dan prasarana di layanan kesehatan primer harus dibenahi terlebih dahulu. Belum lagi persoalan masih ada dokter yang digaji hanya Rp50.000 perhari dengan jam kerja selama 12 jam.
“Seakan prodi ini terkesan seperti dipaksakan, karena sudah ada penolakan dari seluruh dokter di Indonesia. Tetapi pemerintah tetap saja ngotot agar program ini dijalankan,†ujarnya..
(Iam/ Dom)