KedaiPena.com – Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar mengimbau pemerintah untuk mencari kebijakan alternatif, dibandingkan memaksakan penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen di Januari 2025.
“Pemerintah seharusnya bisa melaksanakan reformasi perpajakan, yang menitikberatkan pada kontribusi lebih besar dari kelompok berpenghasilan tinggi dan sektor usaha besar yang selama ini cenderung kurang optimal dalam memberikan sumbangsih pajak,” kata Anwar, Sabtu (30/11/2024).
Ia menyebutkan reformasi perpajakan ini tidak hanya berlandaskan pada prinsip keadilan sosial, tetapi juga dapat menciptakan penerimaan negara yang lebih stabil tanpa menambah beban masyarakat kelas menengah dan bawah yang sudah rentan.
Misalnya, menerapkan pajak kekayaan atau wealth tax, yang ditujukan kepada individu atau entitas dengan aset dalam jumlah besar.
“Skema ini telah berhasil diterapkan di sejumlah negara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi sekaligus meningkatkan pendapatan negara. Pajak ini menjadi bentuk redistribusi kekayaan yang memastikan mereka yang memiliki kapasitas finansial lebih besar turut berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan nasional,” ujarnya.
Anwar menyatakan jika hingga akhir tahun pemerintah belum memberikan respons yang tegas dan final terkait tuntutan penundaan kenaikan PPN 12 persen, akanberpotensi menciptakan ketidakpastian yang signifikan di tengah masyarakat dan dunia usaha.
Dari sisi konsumen, ketidakjelasan mengenai kebijakan PPN dapat mendorong perilaku menahan pengeluaran (precautionary saving). Banyak rumah tangga, terutama dari kelas menengah, cenderung mengurangi konsumsi untuk mengantisipasi beban pajak yang lebih besar di tahun depan.
Dari sisi dunia usaha, ketidakpastian kebijakan dapat memengaruhi keputusan investasi. Pelaku usaha yang beroperasi di sektor konsumsi kemungkinan besar akan menunda ekspansi atau pembukaan lapangan kerja baru karena proyeksi permintaan yang melemah. Hal ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
“Untuk menghindari dampak negatif ini, pemerintah perlu segera memberikan kepastian, baik melalui keputusan untuk menunda kenaikan PPN atau melalui kebijakan mitigasi yang jelas dan dirancang dengan baik,” ujarnya lagi.
Menanggapi korelasi antara kenaikan PPN dengan kenaikan UMP yang akan berdampak pada pelaku usaha, Anwar menyatakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) memang merupakan hak yang wajib diberikan kepada pekerja sebagai bentuk perlindungan atas kebutuhan hidup yang terus meningkat. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan penghargaan terhadap tenaga kerja yang menjadi tulang punggung perekonomian.
“Namun, jika kebijakan ini digabungkan dengan implementasi kenaikan PPN 12 persen pada waktu yang sama, dampaknya jelas akan memberatkan pelaku usaha, terutama sektor UMKM, yang sudah berada di bawah tekanan ekonomi,” katanya tegas.
Maka dari itu, prioritas kebijakan seharusnya memastikan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan usaha.
“Kenaikan UMP adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi karena menyangkut hak dan kebutuhan dasar pekerja. Sedangkan, kenaikan PPN justru harus dipertimbangkan ulang karena kebijakan ini akan memberikan tekanan tambahan yang tidak proporsional terhadap ekonomi rakyat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa