KedaiPena.com – Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini menegaskan bahwa negara belum sepenuhnya hadir untuk memberikan kesejahteraan yang layak bagi para guru honorer, meskipun Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mengatur hak penghasilan yang layak bagi guru.
“Dari 3,7 juta guru di Indonesia, sebanyak 2,06 juta atau 56 persen merupakan guru honorer atau tidak tetap. Sebagian besar dari mereka masih menerima upah yang jauh dari layak, bahkan di beberapa daerah masih banyak yang dibawah Rp500 ribu, terutama di tingkat SD dan MI,” kata Agung Pardini dalam diskusi Bangga Jadi Guru, yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa, IDEAS, dan GREAT Edunesia di Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Ia menjelaskan bahwa sumber gaji bagi Guru Honorer sampai saat ini masih ditopang oleh Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berdasarkan regulasi yang ada alokasi gaji guru honorer dari dari dana BOS maksimal 50 persen untuk sekolah di bawah Kemendikbud dan 60 persen untuk sekolah di bawah Kemenag.
“Simulasi IDEAS mengungkapkan rata-rata gaji guru honorer yang ditopang Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya berkisar antara Rp780 ribu hingga Rp3,3 juta, tergantung jenjang pendidikan,” paparnya.
Pada tingkat nasional, guru honorer SD rata-rata menerima gaji Rp1,2 juta, sementara guru SMP mendapatkan Rp1,9 juta. Di jenjang pendidikan menengah, guru honorer SMA rata-rata digaji Rp2,7 juta, dan guru SMK Rp 3,3 juta.
“Namun, kondisi guru madrasah jauh lebih memprihatinkan, dengan gaji rata-rata hanya Rp780 ribu untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Rp785 ribu untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Rp984 ribu untuk Madrasah Aliah (MA),” paparnya lagi.
Ia menyebut bahwa rasio guru dan murid yang kecil, terutama di daerah-daerah tertentu, menjadi salah satu penyebab alokasi Dana BOS tidak mencukupi untuk memberikan gaji layak bagi para guru honorer.
“Bahkan jika porsi Dana BOS dinaikkan lebih dari 60 persen, tetap saja tidak akan cukup untuk mencapai kesejahteraan yang layak,” kata Agung lebih lanjut.
Hasil simulasi lain juga menunjukkan disparitas gaji antar wilayah. Di jenjang SD, dari 494 kabupaten/kota yang dianalisis, sebanyak 220 kabupaten/kota masih memiliki gaji guru honorer di rentang Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Kondisi lebih buruk terlihat di MI, di mana 328 dari 492 kabupaten/kota memiliki estimasi gaji dalam rentang yang sama.
Pada jenjang SMP dan MTs, terdapat masing-masing 110 kabupaten/kota (dari 486 kabupaten/kota) dan 320 kabupaten/kota (dari 483 kabupaten/kota) dengan gaji guru honorer juga di bawah Rp 1 juta.
Sementara itu, situasi sedikit lebih baik ditemukan di jenjang pendidikan menengah atas. Sebanyak 156 kabupaten/kota dari 483 kabupaten/kota pada jenjang SMA memiliki rata-rata gaji guru honorer di atas Rp3 juta. Jenjang SMK bahkan lebih baik, dengan 162 kabupaten/kota dari 463 kabupaten/kota memiliki estimasi gaji di atas Rp3 juta.
“Namun, di MA, mayoritas gaji guru honorer tetap berada di rentang Rp500 ribu hingga Rp1 juta, yakni sebanyak 239 kabupaten/kota dari 464 kabupaten/kota yang dianalisis,” tuturnya.
Agung menegaskan perlunya langkah konkret dan inovatif untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan guru honorer yang hingga kini masih jauh dari kata layak. Menurutnya, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang luar biasa (extraordinary) untuk memastikan guru honorer mendapatkan penghasilan yang mencukupi dan status kerja yang jelas.
“Pengangkatan guru honorer menjadi ASN melalui skema PPPK memang menggembirakan, tetapi masih parsial. Skema ini hanya menjangkau sekolah negeri dan memiliki kontrak kerja terbatas antara 1 hingga 5 tahun, sehingga tidak menjadi solusi jangka panjang,” tuturnya lagi.
IDEAS merekomendasikan replikasi kebijakan DKI Jakarta yang mengangkat seluruh guru honorer menjadi Guru Kontrak Kerja Individu (KKI) sebagai langkah jangka pendek.
“Kebijakan ini memberikan kepastian status dan penghasilan yang lebih baik, dan dapat diadopsi oleh pemerintah daerah lainnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa