KedaiPena.com – Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menyatakan tidak salah jika suatu negara memiliki penghitungan berbeda dengan Bank Dunia terkait batas kemiskinan.
“Wajar saja ya kalau pemerintah, dalam hal ini BPS, memiliki ukuran garis kemiskinan nasional yang berbeda dari apa yang dimiliki Bank Dunia. Untuk analisis kemiskinan antar negara, yang tepat digunakan ukuran kemiskinan bank dunia, kalau untuk analisis kemiskinan nasional ya kita gunakan garis kemiskinan BPS,” kata Yusuf saat dihubungi, Rabu (5/10/2022).
Ia menjelaskan bahwa perubahan batas kemiskinan oleh Bank Dunia, tujuannya untuk perbandingan kemiskinan antar negara.
“Ukuran yang di pakai adalah pendekatan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dalam Dollar Amerika. Pendekatan PPP ini berbeda dengan nilai tukar valas. Misal, pada 2021 US$1 PPP itu setara dengan Rp4.758. Jadi ketika Bank Dunia menaikkan batas garis kemiskinan ekstrem dari US$1,90 menjadi US$2,15, maka ini setara dengan Rp10.229 per orang per hari atau Rp306.870 per bulan, naik dari sebelumnya Rp9.040 per orang per hari atau Rp271.200 per bulan. Dengan perubahan garis kemiskinan maka jumlah penduduk miskin berubah. Ukuran Bank Dunia sebelumnya adalah PPP 2011, sedangkan yang baru ini basisnya PPP 2017, jadi yang sekarang lebih relevan, dan hasilnya penduduk miskin naik,” paparnya.
Terkait kondisi di Indonesia, Yusuf menyatakan masih ada inkonsistensi antara data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro.
“Untuk evaluasi kebijakan, pemerintah menggunakan data kemiskinan makro yang rutin dikeluarkan BPS berdasarkan survey setiap 6 bulan yaitu Susenas, berdasarkan garis kemiskinan nasional,” paparnya lagi.
Terakhir, BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk Indonesia.
“Namun untuk implementasi kebijakan perlindungan sosial, pemerintah menggunakan data kemiskinan mikro, yaitu DTKS (red: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), yang berisi data 40 persen keluarga termiskin. Angka ini kurang lebih setara 95 juta penduduk, 4 kali lipat dari angka kemiskinan makro. Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya meyakini bahwa dalam kenyataan, jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bantuan sosial jauh lebih banyak dari angka kemiskinan resmi,” kata Yusuf.
Ia membenarkan untuk penerima bantuan sosial adalah 40 persen keluarga terbawah itu, yang tercatat sekitar 95 juta orang.
“Itu yang merupakan kelompok miskin yang sesungguhnya. Dalam ukuran kemiskinan, angka yang relevan adalah 1,6 kali dari garis kemiskinan berlaku. Seharusnya yang mesti dikejar adalah publikasi angka kemiskinan dengan garis kemiskinan 1,6 hingga 2,0 kali dari garis kemiskinan yang sekarang. Yaitu Rp505 ribu per kapita per bulan dikalikan dengan 2,0 itu,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa