KedaiPena.Com -Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai, pengangkatan Walikota Surabaya, Tri Risma Harini, menjadi Menteri Sosial. memiliki problematika tersendiri.
Pasalnya, kata dia, di waktu yang sama, Risma diketahui masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Rangkap jabatan juga diakui oleh Risma telah mendapat izin Presiden Jokowi.
“Lewat pengakuan Risma, kita bisa melihat inkompetensi dan tidak berpegangnya dua pejabat publik pada prinsip etika publik. Yang pertama adalah Risma sendiri, kedua adalah Presiden RI Joko Widodo,” kata Egi dalam keterangannya, Kamis (24/12/2020).
Menurut Egi, pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik.
Apalagi, kata dia, jika pejabat itu sekelas Presiden dan Wali Kota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng.
Egi menyebut terdapat 2 Undang-undang yang dilanggar dengan rangkap jabatannya Risma.
Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 76 huruf h secara tegas memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
“Kedua, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 huruf a UU Kementerian Negara mengatur bahwa Menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya,” ujarnya.
Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menteri dan wali Kota disebut sebagai pejabat negara.
“Ini menunjukkan bahwa baik dalam kapasitasnya sebagai wali kota atau nenteri, posisi Risma bertentangan dengan dua UU tersebut,” kata dia.
Menurut Egi, keputusan Presiden Jokowi untuk membiarkan pejabat publik rangkap jabatan juga jelas bermasalah. Perintah undang-undang tidak bisa dikesampingkan oleh izin Presiden, apalagi hanya sebatas izin secara lisan.
“Pengangkatan Risma sebagai menteri tanpa menanggalkan posisi wali kota bisa dinilai cacat hukum,” tegas dia.
Fenomena rangkap jabatan bukan hanya terjadi pada saat pemilihan menteri baru. Sebelumnya, Ombudsman telah menemukan praktik serupa di tubuh BUMN. Namun, Jokowi bergeming. Bahkan kondisi tersebut dinormalisasi oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.
“Penting untuk ditekankan, menormalisasi praktik rangkap jabatan sama dengan menormalisasi sesuatu yang dapat berujung pada perilaku koruptif. Sebab, rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan sebuah kebijakan,” ujar Egi.
Menurut ICW, izin yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Risma untuk melakukan rangkap jabatan semakin menunjukkan praktik permisif terhadap praktik koruptif. Terlebih, keputusan tersebut melanggar UU, dan mengikis nilai etika publik yang hidup di tengah masyarakat.
“Oleh karena itu ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Jika Risma tak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apapun. Perhatian publik juga perlu ditujukan pada Presiden RI yang memberi izin pada Risma untuk rangkap jabatan,” tandas Egi.
Laporan: Muhammad Lutfi