TUJUH Perwira Polisi dan seorang PNS di Polda Sumatera Selatan akhir Maret 2017 lalu terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Mabes Polri. Diduga mereka terlibat pungli dalam penerimaan calon Brigadir Polisi tahun 2016 dan Sekolah Inspektur Polisi Sarjana tahun 2017. Uang sebesar Rp 4,7 miliar diduga hasil pungli turut disita Tim Saber yang berasal dari Propam Mabes Polri.
Selain di Sumsel, Tim Saber Pungli di internal Polri yang dibentuk Oktober 2016 lalu telah melakukan sejumlah proses hukum berupa pemeriksaan dan penangkapan terhadap oknum Polisi yang diduga melakukan pungli.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan apresiasi terhadap langkah Polri memerangi praktek pungli di internal kepolisian. Langkah ini tentu saja akan memperbaiki citra Polri dan sekaligus mendorong perbaikan dalam pelayanan publik dan penerimaan calon anggota polri maupun sekolah dilingkungan Polri menjadi clean and clear atau bebas dari korupsi.
Namun demikian, ICW mendesak Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk bertindak lebih keras terhadap oknum Polisi terlibat, membongkar pihak lain yang diduga terlibat atau melindungi (backing) atau menerima setoran yang berasal dari pungli. Proses hukum yang dilakukan oleh Tim Saber sebaiknya transparan agar publik juga dapat mengawasi. Oknum polisi yang tertangkap tangan atau terbukti melakukan tindakan pungli harus diproses secara berlapis baik administrative maupun pidana.
Pertama, diberikan Hukuman Disiplin atau sanksi administrative paling maksimal yaitu pencopotan dari jabatan atau dipecat sebagai anggota Polri. Hukuman Disiplin tersebut diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Kedua, pelaku juga harus dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pungutan secara tidak sah atau liar yang dilakukan oleh oknum Polisi yang juga pegawai negeri dapat digolongkan sebagai perbuatan pemerasan berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor menyebutkan: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kedua langkah ini wajib dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan membuat pelaku lain berpikir ulang untuk melakukan hal serupa. Hukuman maksimal terhadap pelaku perlu diberikan mengingat antara lain pungli yang dilakukan oleh oknum Polisi telah mencoreng institusi dan memalukan korps Bhayangkara; pelakunya merupakan aparat hukum yang seharusnya paham mengenai hukum dan menjadi tauladan bagi masyarakat; dan mendorong percepatan zona anti korupsi di lingkungan Polri.
Pemberian efek jera ini akan dapat mendorong percepatan reformasi internal Polri yang titik sentralnya pada pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Polri, sebagaimana telah menjadi tekad Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang disampaikan dalam fit proper test di DPR untuk mewujudkan Polri yang Profesional Modern dan Terpercaya (Promoter).
Sebaliknya jika hukumannya “lembek†hanya berupa sanksi administratif ringan dan sedang serta tanpa proses pidana maka hal ini hanya akan menurunkan citra Polri dimata publik, membuat pelaku tiarap sesaat dan berpotensi melakukan tindakan serupa dimasa mendatang.
Oleh Tama Satria Langkun, Koordinator Divisi Hukum dan Monitor Indonesia Corruption Watch (ICW)