KedaiPena.com – Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES) menyatakan Indonesia perlu segera untuk mengantisipasi perkembangan upaya penurunan emisi GRK global yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Khususnya, menyangkut atas kelangsungan dunia usaha, ketersediaan lapangan kerja, perlindungan lingkungan dan Kesehatan, dan berbagai target-target pembangunan Indonesia lainnya.
Dalam hal ini, penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan menjadi faktor kunci dalam upaya penurunan emisi GRK pada sektor energi, yang sejalan dengan peta jalan pencapaian target Net Zero Emissions (NZE) yang sudah disusun oleh Pemerintah.
Ketua ICRES, Surya Dharma menyatakan DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah perlu memperhatikan agar terdapat kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang energi terbarukan.
“Hal yang sangat diperlukan saat ini adalah dasar hukum yang kuat agar kepastian hukum dalam pemanfaatan energi terbarukan semaksimal mungkin dapat dilakukan, tidak hanya hingga 2030 tetapi juga melewati tahun tersebut, sehingga Indonesia mampu mencapai target NZE, sebagaimana yang sudah dimasukkan dalam peta jalan NZR sektor energi,” kata Surya, Minggu (30/4/2023).
Ia menyatakan dengan memperhatikan RUU EBET yang dibahas saat ini, DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah sebaiknya perlu melihat ulang untuk menyepakati bahwa judul RUU EBET diganti menjadi RUU Energi Terbarukan (RUU ET). Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa istilah Energi Baru tidak dikenal dalam dalam dunia internasional.
Sementara itu, apabila Energi Baru yang dimaksudkan dalam dalam RUU EBET hanya terkait dengan teknologi untuk mengolah sumber daya energi berbasis tidak terbarukan, maka hal ini juga tidak lagi tepat, karena teknologi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) misalnya bukan lagi teknologi baru, demikian juga halnya dengan teknologi untuk gasifikasi batubara.
“Sehubungan dengan hal tersebut, dengan berubahnya judul menjadi RUU ET, maka semua rumusan pasal-pasal menyangkut Energi Terbarukan harus dihapus dalam RUU ini. Sebagai pelengkapnya, perlu segera dibahas RUU Perubahan tentang UU No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran,” ucapnya.
Sebagai bagian dari pengembangan energi terbarukan, lanjutnya, maka DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah perlu menyepakati rumusan pasal-pasal dalam RUU ini agar secara jelas memprioritaskan Energi Terbarukan mulai dari perencanaan, pengadaan dan pengoperasian. Energi Tidak Terbarukan baru akan dapat dimanfaatkan apabila Sumber Energi Terbarukan tidak lagi tersedia.
“Pembahasan tentang pemanfaatan nuklir untuk pembangkit listrik tidak ada urgensinya saat ini, mengingat bahwa dalam peta jalan yang disusun Pemerintah, pemanfaatan PLTN baru akan ada setelah tahun 2040. Sementara itu, BAPETEN saat ini sedang menyusun naskah akademis untuk revisi UU No.10 Tahun 1997. Apabila ada hal penting yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pemanfaatan PLTN, maka hal ini dapat dilakukan melalui revisi UU tersebut,” ucapnya lagi.
Terkait dengan gasifikasi batubara, Surya menyatakan tidak perlu lagi diangkat dalam UU, karena hal ini sudah dimungkinkan dilaksanakan melalui UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, sementara tidak ada substansi baru terkait dengan hal ini dalam RUU EBET.
“Bahkan dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terdapat pengaturan khusus terkait dengan gasifikasi batubara, tentang Minerba, Pemerintah sudah memberikan insentif khusus berupa penghapusan royalty untuk hilirisasi batubara,” kata Surya lebih lanjut.
Termasuk juga tentang Domestic Market Obligation (DMO) dan penetapan harga beli batubara untuk pembangkitan listrik, lanjutnya, tidak perlu diangkat dalam RUU ini karena sudah diatur melalui UU lain terkait dengan Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Yang lebih penting saat ini adalah merevisi UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi agar dapat disesuaikan dengan perkembangan global terkait upaya dekarbonisasi di sektor energi. Sebagai bagian dari revisi ini maka sangat penting untuk merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam rangka mendorong terjadinya transisi energi, dan merestrukturisasi Dewan Energi Nasional (DEN) agar dapat berfungsi lebih efektif dan efisien dalam mendorong terjadinya transisi energi,” tuturnya.
Agar pengusahaan Energi Terbarukan dapat dilakukan dengan fair dan transparan, maka DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah diharapkan dapat menyepakati pembentukan satu Badan Khusus, misalnya dengan membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) dalam RUU Energi Terbarukan.
Surya mengungkapkan melalui BPET ini diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan Energi Terbarukan dapat dilakukan seefisien mungkin demi tercapainya target-target pembangunan, seperti pencapaian target NZE, pencapaian target Energi Terbarukan dalam bauran energi, penyediaan lapangan kerja baru, peningkatan investasi hijau di Indonesia, dan target-target lainnya.
“Apabila tidak dicapai kesepakatan untuk fokus pada energi terbarukan, dan tetap ingin memasukkan PLTN dan transisi energi dalam RUU EBET ada baiknya DPR, DPD dan Pemerintah mempertimbangkan untuk menyusun omnibus law tentang energi, dengan mengintegrasikan pengaturan-pengaturan yang ada di UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.3 Tahun 2020 dan UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dengan Omnibus Law ini maka akan diperoleh satu Undang-Undang yang dapat mengintegrasikan berbagai regulasi di sektor energi dan mengatur pengelolaan dengan lebih baik,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa