ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menyayangkan bahwa yang menjadi fokus perhatian pemerintah masih soal penghukuman kepada pelaku dengan kembali menghadirkan wacana pemberian hukuman kebiri kepada pelaku dan bukan pemberian layanan yang maksimal kepada korban
Di awal tahun 2018, Indonesia dikejutkan dengan munculnya 2 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang cukup memprihatinkan. Pertama, beredar video yang menunjukkan dilakukannya hubungan seksual antara anak dengan perempuan dewasa yang diduga dibuat dan diarahkan oleh 6 (enam) orang dewasa yang diduga terjadi di Bandung. Kedua, muncul juga kasus kekerasan seksual di Tangerang yang diduga dilakukan oleh seorang guru honorer terhadap 41 orang anak di Tangerang.
ICJR menganggap bahwa kedua kasus tersebut sebagai kekerasan seksual terhadap anak dan kepada para pelaku yang terlibat termasuk di dalamnya anggota keluarga anak yang diduga juga terlibat dapat dijerat dengan pidana berlapis, khususnya dengan instrumen UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan yang paling penting yakni UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Untuk kasus perekaman video anak dengan perempuan dewasa perlu diperhatikan bahwa pelaku dalam video tersebut dapat diduga merupakan bagian dari sindikat peredaran video pedofilia. Dengan demikian pembuatan video tersebut dilakukan dalam konteks eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi. Aparat penegak hukum harus melihat kasus ini bukan hanya dengan kacamata kekerasan seksual pada anak menggunakan aturan tunggal seperti pornografi atau perlindungan anak semata, namun sekali lagi harus menggunakan pasal berlapis. Salah satunya dengan instrumen TPPO.
Dengan instrumen TPPO, penyidik bahkan dapat menjerat korporasi dibalik bisnis pornografi anak. Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyatakan bahwa tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan kekayaan hasil tindak pidana (perampasan aset). Namun sampai saat ini nampaknya penyidik hanya menjerat pelaku dengan UU Pornografi dan UU Perlindungan Anak dan belum menunjukkan kemungkinan menjerat para pelaku dengan menggunakan UU PTPPO.
Selain mengejar pelaku, Korban juga tidak boleh ditinggalkan. Menghukum pelaku memang penting, namun penanganan terhadap anak jauh lebih penting dan harus disegerakan. Jumlah pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga terhadap korban kekerasan seksual diketahui cenderung rendah, yakni sekitar 3%. Selain itu juga tidak tersedianya data komprehensif yang terintegrasi mengenai anak korban kekerasan seksual yang telah menjalani rehabilitasi secara tuntas.
Dalam studi pemetaan layanan anak korban di beberapa lembaga diantaranya LPSK, P2TP2A, Kemensos, Kemenkes, dan Kepolisian di DKI Jakarta yang dilakukan ICJR pada tahun 2016, terdapat catatan problem umum dalam pemberian layanan bagi anak korban. Diantaranya yakni tidak adanya kebijakan sentral bagi layanan anak korban. Terlebih lagi dalam kasus perekaman video pornografi anak, yang melibatkan orang tua, maka Negara dituntut untuk hadir dalam garda terdepan melindungi anak korban. Anak kembali perlu mendapatkan rehabilitasi secara maksimal dan membutuhkan lebih serius dalam penanganannya karena akan berpotensi besar sebagai pelaku.
Atas kedua kasus tersebut, ICJR memiliki beberapa catatan. Pertama, ICJR menyayangkan bahwa yang menjadi fokus perhatian pemerintah masih soal penghukuman kepada pelaku dengan kembali menghadirkan wacana pemberian hukuman kebiri kepada pelaku dan bukan pemberian layanan yang maksimal kepada korban. Padahal upaya perlindungan korban kekerasan seksual, khususnya terhadap anak adalah aspek penting dalam penanganan kekerasan seksual.
Adanya kasus ini dapat menjadi evaluasi penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk tidak melupakan korban dalam penangananannya khususnya dalam aspek perlindungan dan pemulihan. Tak hanya itu, korban anak dalam penanganan kasus kekerasan seksual harus diakomodir hak-hak nya baik hak atas perlindungan dalam proses hukum, Hak atas Privasi berupa kerahasiaan identitas anak korban, hak atas pemulihan dalam bentuk rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial serta pemenuhan hak proseduralnya dalam konteks penanganan kasus dalam skema peradilan pidana.
Kedua, adanya dua kasus ini merupakan memomentum untuk mengimplementasikan hak korban anak khususnya hak korban untuk mengajukan restitusi kepada pelaku yang sudah diakomodir dalam dua UU sekaligus, yaitu UU Perlindungan Anak dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Dengan instrumen hukum tersebut, lembaga pemberi layanan korban (Pusat Pelayanan Terpadu Perlidungan Anak dan Perempuan (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Sosial RI) harus mampu memaksimalkan pemenuhan hak korban termasuk didalamnya berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengajukan restitusi bagi anak korban.
Ketiga, bahwa dalam penanganan kasus ini penting bagi aparat penegak hukum untuk melihat kasus secara komprehensif dan menggunakan instrumen hukum yang tersedia secara maksimal. Aparat penegak hukum harus lebih menggali lebih cermat bahwa dalam kasus ini telah terjadi eksploitasi seksual terhadap anak dengan motif ekonomi yang dapat dijerat dengan UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Karena dalam kasus tersebut telah terjadi peristiwa perekrutan anak untuk dieksploitasi secara seksual untuk kepentingan komersial. Melalui instrument UU TPPO ini diharapkan bahwa aparat penegak hukum dengan PPATK dapat menelusuri transaksi yang dilakukan oleh pelaku untuk menjerat otak dari kejahatan yang dilakukan.
ICJR meminta Negara untuk andil lebih besar dalam penanganan anak korban ekspoitasi seksual melalui perekaman video dan korban kekerasan seksual. Lembaga layanan perlindungan korban khususnya P2TP2A, LPSK, dan Kemensos untuk fokus dalam pemberian perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual secara komprehensif.
Aparat penegak hukum untuk mendalami otak pelaku kejahatan dan menjerat pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
Merekomendasikan kepada LPSK untuk segera berkoordinasi dengan lembaga pemberi layanan korban untuk merumuskan dan menghitung permohonan ganti kerugian dalam bentuk restitusi kepada aparat penegak hukum untuk dapat diakomodir dalam setiap tahap pemeriksaan perkara.
Oleh Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu