JAKSA Agung mencari strategi baru terkait hukuman mati dengan mengajukan permintaan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut batas waktu pengajuan grasi.
Dalam pemantauan terpisah, MA mengatakan telah menjawab surat dari Jaksa Agung tersebut dengan Surat MA Nomor 7/WK.MAY/III/2017 yang ditandatangani Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial, dalam surat tersebut, MA mengembalikan tehknis pelaksanaan putusan sepenuhnya ke Jaksa sebagai eksekutor.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa upaya Jaksa Agung untuk meminta fatwa ke MA terkait putusan MK adalah suatu tindakan yang kurang tepat, selain karena saja bukan domain dari MA, Jaksa Agung sebaiknya berfokus dalam membaca putusan MK tersebut.
Sebagai catatan pada Juni 2016, MK mengelurkan keputusan terkait permohonan pengujian Pasal 7 ayat 2 UU No 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
Pasal itu mengatur grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika lebih dari satu tahun dianggap kadaluwarsa. Dalam Putusan bernomor No 107/PUU-XII/2015, MK memutuskan bahwa permohonan grasi  merupakan  hak  prerogatif  presiden  yang  tidak  dibatasi  waktu  pengajuannya  karena menghilangkan hak konstitusional terpidana.
ICJR merasa bahwa tidak perlu lagi ada perdebatan soal larangan eksekusi mati dalam hal terpidana mengajukan grasi sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 UU Grasi ketentuan yang kemudian diperkuat melalui putusan MK ini. Kenyataannya, Jaksa Agung justru terlihat mencari peluang dalam menyiasati putusan MK tersebut.
Pelanggaran atas putusan MK ini akan berdampak pada maladmistrasi seperti dalam Eksekusi mati Humprey Ejike Jefferson pada Juli 2016. Dalam Hasil Akhir Pemeriksaan Ombudsman RI, berdasarkan Laporan Nomor 0793/LM/VIII/2016/Jkt, Ombudsman memutuskan bahwa Kejaksaan Agung melakukan Maladministrasi Saat Eksekusi Mati Juli 2016.
Ombudsman, menyatakan bahwa seharusnya Kejagung menunda eksekusi lantaran Humprey sedang mengajukan grasi, dalam aturan tersebut disebutkan bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan sebelum keputusan presiden tentang grasi diterima oleh terpidana.
Dalam hasil akhir pemeriksaan tersebut disebutkan Ombudsman berpendapat bahwa berkenaan dengan pelaksaan eksekusi mati oleh Kejaksaan dapat dikatakan melanggar ketentuan undang-undang yaitu sebagimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 tanggal 15 Juni 2016, yang menyatakan bahwa Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945.
Dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yaitu tentang pembatasan jangka waktu pengajuan grasi 1 (satu) tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, karena pertimbangan “waktu pengajuan yang sangat mendekati waktu pelaksanaan eksekusi†tidak dapat dijadikan dasar pelaksanaan eksekusi, karena mengandung ketidakpastian hukum.
Hasil akhir Pemeriksaan Ombudsman RI ini sesungguhnya sejelas putusan MK terkait UU Grasi, yang intinya, Jaksa Agung dilarang melakukan eksekusi ketika terpidana sedang dalam proses pengajuan grasi.
ICJR juga mengritik statemen berbagai pihak yang menyatakan bahwa grasi dimainkan para terpidananya untuk mengulur-ulur waktu eksekusi mati. ICJR menekankan bahwa Grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana mati untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden agar terhindar dari eksekusi mati.
Dengan kata lain grasi adalah upaya bagi terpidana mati untuk mempertahankan hidupnya. Dalam kondisi ini, hanya grasi presiden lah yang mampu menyelamatkan nyawa terpidana dengan meniadakan hukuman mati, upaya terakhir seorang manusia, jadi ini tidak layak disebut sebagai upaya main-main dan mengulur waktu. Pernyataan tersebut, sungguh tidak terpuji.
ICJR merekomendasikan agar ada moratorium eksekusi mati, sehingga eksekusi yang bersifat maladministrasi seperti menimpa Humprey tidak lagi terjadi atau Presiden bisa langsung mempertimbangkan perubahan hukuman mati kepada penjara seumur hidup. Atau Juga mempertimbangkan setidaknya menunggu sampai dengan Rancangan KUHP disahkan di DPR sehingga terdapat lebih banyak solusi dari persoalan eksekusi mati saat ini.
Oleh Erasmus Napitupulu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)