MAHKAMAH Konstitusi akhirnya menjatuhkan putusan yang menyatakan ketentuan usia perkawinan perempuan yakni 16 tahun inkonstitusional dan meminta Pemerintah bersama DPR untuk segera mengubah ketentuan tersebut dalam jangka waktu 3 tahun. Putusan ini patut diapresiasi, sebab akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perkawinan anak adalah salah satu masalah darurat yang harus segera diselesaikan Pemerintah dan DPR.
Pendapat Mahkamah Konstitusi ini sejatinya sejalan dengan pendapat Pemerintah Joko Widodo yang melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise pernah menyatakan bahwa Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Perppu untuk mengatasi tingginya angka perkawinan anak di Tanah Air. Tentu saja, langkah Pemerintah untuk menyusun Perppu mencegah perkawinan anak adalah langkah yang sangat baik.
Sayangnya, langkah Presiden Joko Widodo menyiapkan Perppu ini, sama sekali tidak sejalan dengan kebijakan hukum pidana dalam pemerintahannya. Saat ini, Presiden dan DPR juga sedang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa ketentuan dalam RKUHP, justru dalam pandangan ICJR, akan mengancam upaya Pemerintah untuk mengurangi angka perkawinan anak di Indonesia.
Salah satu pasal yang berpontensi mengancam ini adalah perluasan delik Zina yang dimuat di dalam Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP (draft RKUHP versi 9 Juli 2018). Pasal ini, mengkriminalisasi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan dan melakukan persetubuhan. Pasal ini merupakan delik aduan yang mana orang yang dapat mengadu adalah suami, istri, orang tua, atau anak. Insitite Crime and Justice Reform (ICJR) mencatat pasal ini dapat menimbulkan masalah.
Pertama, apabila dilihat, pasal ini bisa menjerat anak karena pasal tersebut tidak membatai usia pelaku, dan karena kedua pelaku baik laki-laki dan perempuan dapat dipidana, berarti anak-anak yang berubungan badan (bersetubuh) keduanya bisa dipidana dengan pidana penjara yang juga terbilang tidak sedikit. Dalam kondisi ini lah potensi kawin paksa bisa terjadi, karena apabila anak melakukan persetubuhan maka perkawinan bisa dianggap sebagai “jalan keluar”.
Kedua, berdasarkan catatan BPS dan Unicef pada 2015 mengenai perkawinan anak di Indonesia, melalui penelitian yang didasari pada Hasil Susenas 2008-2012 Dan Sensus Penduduk 2010, beberapa orang tua menikahkan anak perempuan mereka sebagai strategi untuk mendukung kelangsungan hidup ketika mengalami kesulitan ekonomi, hal ini disebabkan karena sebagian besar beranggapan bahwa peran perempuan adalah sebagai istri dan ibu, mereka lebih besar kemungkinannya untuk dinikahkan pada usia muda.
Dalam banyak temuan dan laporan lembaga independen, dalam kondisi ini anak perempuan sering “dipaksa” untuk menikah guna menanggulangi masalah ekonomi keluarga. Dalam riset Koalisi 18+ pada 2016, 89% pengajuan permohonan dispensasi perkawinan di tiga daerah penelitian yaitu Tuban, Bogor Dan Mamuju sepanjang 2013-2015, permohonan diajukan dikarenakan “kekhawatiran orang tua”.
Apabila melihat rumusan Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP yang merupakan delik aduan dan dimana yang dapat mengadu salah satunya adalah “orang tua” maka potensi untuk terjadinya kawin paksa sangat besar apabila dalam kondisi anak sudah berhubungan badan dengan pasangannya dan diketahui oleh orang tua namun menolak untuk dikawinkan.
Penggunaan pidana pada anak dalam kasus-kasus kesusilaan bukan yang pertama di Indonesia, Pasal 81 UU Perlindungan Anak yaitu pidana bagi setiap orang yang bersetubuh dengan anak justru digunakan untuk memidana Anak sendiri yang mayoritas Anak laki-laki. Dalam persoalan Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP, maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan bisa sama-sama manjadi pelaku, yang artinya hukum pidana masih mengancam anak untuk kasus perluasan delik zina.
Perkawinan anak jelas merupakan masalah bangsa yang harus segera diatasi. Komitmen Pemerintah untuk mengatasi perkawinan anak harus selain dapat ditunjukkan dengan segera melakukan perubahan usia perkawinan anak perempuan, juga harus ditunjukkan melalui pengkajian ulang pasal-pasal yang berpotensi untuk melanggengkan perkawinan anak seperti Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP.
Oleh Anggara, Direktur Eksekutif ICJR