Artikel ini ditulis oleh Dr KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB.
Ketika Alm. H. Rosihan Anwar (10/05/1922 – 14/04/2011), seorang Sejarawan, Sastrawan, Budayawan dan Calon Anggota Konstituante (mewakili Partai Sosialis Indonesia) menulis buku “Sebelum Prahara Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965” yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan th 1980, banyak masyarakat yang terus terang belum benar-benar bisa memahami apa yang dirasakan oleh beliau dan rakyat Indonesia saat itu, karena saat peristiwa aslinya terjadi menjelang G-30S/PKI tahun 1965 memang banyak generasi sekarang yang belum lahir, utamanya adalah Millenial apalagi Gen-Z. Namun apakah bisa alasan “belum lahir” ini digunakan sebagai apologi seseorang untuk abai terhadap peristiwa yanh sekarang terjadi?
Tentu jawabannya adalah TIDAK (bahkan saya tulis dengan huruf besar atau kapital) karena urusan kedepan bangsa ini bukan hanya milik segelintir orang, apalagi hanya oleh satu keluarga saja. Jadi memang tulisan kemarin (“Rencana Mundurnya Prof Mahfud MD ditinjau dari sisi Manajemen OCB”) sekarang sudah benar-benar terlaksana, artinya beliau secara ksatria sudah mengundurkan diri dengan mengedepankan hati dan etika, alias bukan hanya letterlijk Aturan Hukum, apalagi aturan yang memang sengaja diubah atau dibuat untuk meloloskan hal-hal tertentu, misalnya yang belum cukup umur tetapi dipaksakan kemarin dan sebagainya.
Jadi kalimat “Ibu Pertiwi Sedang Hamil Tua” yang disitir oleh Alm Rosihan Anwar tersebut sebenarnya berlayar belakang tahun 1965, dimana saat itu Anwar Sanusi (dari Partai yang sekarang terlarang, PKl) dalam sambutannya pada penutupan Latihan Sukwan Bantuan Tempur BNI yang awalnya memang mengatakan “Kita sekarang berada dalam situasi di mana Ibu Pertiwi sedang dalam keadaan hamil tua. Sang Paraji, Sang Bidan sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk menyelamatkan kelahiran Sang Bayi yang lama dinanti-nanti. Sang Bayi yang akan lahir dari kandungan Ibu Pertiwi itu adalah suatu kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol yaitu kekuasaan gotong-royong yang berporoskan Nasakom bersoko-guru buruh dan tani.”
Saat ini kondisi sosial-politik Indonesia memang belum bisa disamakan dengan situasi saat itu, bahkan dimiripkan dengan kondisi hari-hari terakhir Orde Baru (Mei 1998) saja masih belum. Namun embrio-embrionya sudah mulai terasa di lingkungan kampus-kampus. Mulai dari UGM dan UII di Jogja, kemudian UI di Jakarta, rencana selanjutnya di kampus-kampus lain seluruh Indonesia, bahkan bukan tidak mungkin rakyat selaku The Silent Majority akan ikut bergerak bilamana memang kontraksi (bak bayi yang akan lahir) ini sudah terasa sampai ke pelosok negeri. Bagaimanapun juga Gerakan Moral di Indonesia sudah terbukti ampuh untuk menurunkan rezim yang dirasa mulai melenceng oleh masyarakat dan hal tersebut tidak akan bisa dibendung karena “wis wayah-e” (Jawa) yang artinya sudah waktunya.
Kalau kemarin saya menulis OCB (Organizational Citizenship Behavior bisa jadi solusi negara ini (baca: Presiden dengan Kabinetnya) untuk menyambut “kelahiran bayi” tersebut akibat dimungkinkannya terjadi “Tsunami Politik” gegara bisa jadi tidak hanya satu menteri yang mundur (dalam hal ini hanya Prof Mahfud MD saja), namun diikuti oleh menteri-menteri yang lain sebagaimana “bocor alus” versi beberapa media dari kabinet sekarang ini. Namun bukan berarti dengan OCB situasi tersebut bisa 100 persen diantisipasi, karena kalau memang sudah sunatullah, maka apa yang memang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa Allah SWT, InsyaaAllah pasti terjadi. Hanya saja, minimal kondisi bisa sedikit diminimalisir, agar jangan “Tsunami Politik” akibat “lahirnya” Sang Jabang Bayi dari Rahim Ibu Pertiwi tersebut tidak makin menimbulkan penderitaan bagi rakyat sesuai cita cita demokrasi selama ini.
Secara detail sudah saya paparkan kemarin, bahwa OCB dapat diaplikasikan secara berbeda-beda tergantung bagaimana bentuk dan sistem demokrasi negara tersebut. Misalnya Invidualisme vs Kollektivisme, Masculinity vs Femininity, Individual Power Distance, Collectivism Power Distance dan sebagainya, sehingga tergantung bagaimana mau digunakan atau tidak, tergantung dari bagaimana Presiden menyikapi kondisi yang sekarang terjadi. Mau digunakan Pandangan Manajemen OCB, mau digunakan Standar Etika atau Aturan secara Letterlijk atau bahkan tetap saja (abai) meneruskan gayanya selama ini, karena merasa sangat yakin bahwa apa-apa yang dilakukannya -menurut Surpay, bukan Survey- masih memiliki apprival rate di atas 80 persen.
Kesimpulannya, “Ibu Pertiwi (benar-benar sekarang dirasakan) Sedang Hamil Tua”, apakah “kelahiran”-nya tersebut merupakan sosok yang memang benar-benar bak Satrio Piningit yang ditunggu-tunggu sejak lama oleh segenap Anak Bangsa untuk bisa merubah nasib menyejahterakan Rakyat Indonesia atau malah “Anak Haram” (bukan hanya versi Konstitusi) yang justru akan semakin membuat Bangsa ini tidak bisa mencapai cita cita Indonesia Emas 2045 yang akan datang, karena salah arah akibat salah pilih orang (semoga tidak).
Sekali lagi semua sudah ada ilmunya, secara Manajemen salah satunya menggunakan OCB, secara politik, secara moral, secara hukum, secara sosial dan sebagainya. Semoga Indonesia diselamatkan.
[***]