KedaiPena.Com – Indonesia Adventure Travel Trade Association (IATTA) menyoroti tingginya angka kecelakaan saat mendaki gunung di Indonesia saat ini.
Teranyar ialah kejadian meninggalnya tiga pendaki Gunung Tampomas, Sumedang akibat hipotermia. Ketiga pendaki tersebut tewas saat mendaki gunung tersebut.
Kejadian tersebut menambah daftar panjang kecelakaan gunung sejak sejak empat tahun terakhir yang meningkat tajam. Untuk diketahui, pada tahun 2015 telah terjadi 12 kejadian SAR, yang diantaranya memakan korban jiwa 2.
Jumlah tersebut semakin meningkat tajam sejak tahun 2016 lantaran menelan korban jiwa hingga 15 kejadian SAR dengan 2 orang meninggal. Sedangkan, sejak tahun 2017 telah tercatat 14 kejadian SAR dengan 7 orang meninggal.
Di tahun 2018 kecelakaan gunung meningkat tajam menjadi setelah terjadi 23 kejadian dengan SAR 6 orang meninggal.
Ketua Harian IATTA Ronie Ibrahim mengatakan beberapa hal yang perlu dipahami bersama dalam menyikapi kecelakaan atau kejadian saat mendaki gunung.
Hal pertama, kata Ronie, perlu diingat bahwa gunung saat ini menjadi salah satu objek destinasi yang sangat digemari terutama kalangan muda.
Dari data perjalanan wisatawan nusatara, ujar Ronie, dari 275 juta perjalanan, antara 7-10 persen adalah wisata ke gunung. Yang artinya ada kunjungan 15-30 juta pelancong atau pengunjung.
Meski demikian, tegas Ronie, jika memperhatikan hal-hal di atas, terminologi setiap orang yang mendaki gunung disebut sebagai pendaki gunung sebetulnya kurang tepat.
“Karena dapat didefiniskan dan diketahui bahwa istilah pendaki gunung digunakan untuk orang yang memiliki pengetahuan tentang kegiatan mendaki gunung termasuk menguasai faktor resiko keselamatan,” ujar Ronie kepada KedaiPena.Com, Sabtu (8/3/2019).
“Dalam bahasa Inggris, terminologinya ada beberapa ‘Hiker’, ‘Trekker’, ‘Mountainer’, ‘High Altitude Mountain’. Sehingga lebih tepat disebut pelancong atau pengunjung atau wisatawan saja,” sambung Ronie.
Dengan kondisi demikian, Ronie menyarankan, bahwa untuk menjadikan gunung sebagai wisata atau destinasi wisata tentu perlu pengelolaan dan regulasi tertentu.
“Gunung-gunung yang belum dikelola tentu saja tidak dilengkapi dengan rute jalan yang baik, petunjuk yang baik, shelter atau rumah singgah yang memadai, petugas gunung dan pemandu gunung yang kompeten di gunung tersebut dan lain sebagainya,” tegas eks Ketua Umum Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).
“Karena memang ada resiko berkegiatan di alam bebas, dihutan apalagi di ketinggian. Ada faktor cuaca dingin, hujan, angin, resiko gunung lainnya,” tegas Ronie.
Pengelolaan dan pengaturan tersebut, tegas Ronie, perlu segera dipercepat lagi dengan menginterkoneksi para stakeholder dalam meregulasi tempat-tempat objek wisata.
“Destinasi wisata yang menjadi sasaran kunjungan pelancong dan wisatawan terutama pada bentang-bentang wisata alam yang memang mengandung resiko dalam melakukan aktivitas nya dan terbanyak adalah aktivitas petualangan olah raga ekstrim yang memang saat ini digemari berbagai kalangan terutama kaum muda. Gunung adalah salah satu yang terbesar dikunjungi,” pungkas Ronie.
Laporan: Muhammad Hafidh